Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Subkhan Khadafi, Lc.
Pembahasan tentang tanggung jawab adalah masalah yang cukup berat. Apalagi bila diletakkan cermin ke masing-masing dari diri kita. Nah, sambil terus berusaha untuk menjalankan setiap tanggung jawab yang ada - yang nantinya akan ditanya di hari akhir - maka kita juga perlu mendidik anak-anak kita memiliki sikap tanggung jawab yang ini bermanfaat sangat besar dalam pembentukan sikap di kemudian hari insya Allah. Mungkin akan timbul sederet pertanyaan; apakah bisa mendidik tanggung jawab pada anak? Bagaimana? Memangnya sudah bisa dimengerti dan lain sebagainya. Pada tulisan ini, kita akan mencontoh dari teladan terbaik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik anak-anak untuk bertanggung-jawab.
Kapan Waktu yang Tepat ?
Mendidik tanggung jawab sesungguhnya dapat dilakukan bahkan di usia masih sangat kecil yaitu balita. Ustadz Abdul Hakim dalam bukunya “Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk yang Dinanti” membagi usia anak-anak menjadi dua tahapan, yaitu sebelum tamyiz dan sesudah tamyiz. Tamyiz secara bahasa bermakna membedakan di antara sesuatu dan anak-anak yang yang telah dapat membedakan sesuatu dengan baik terutama di dalam hal-hal yang membahayakan dirinya dinamakan mumayyiz. Masih dalam kitabnya, Ustadz Abdul Hakim berkata, “Pendidikan yang terbaik bagi anak sebelum dan sesudah tamyiz dengan jalan mendengar dan melihat kepada sesuatu yang baik dan terbaik menurut agama dan bukan menurut akal fikiran dan adat-adat manusia yang menyalahi agama yang mulia.”
Dan berdasarkan kenyataan yang ada, pendidikan tanggung jawab ini memang dapat dilakukan bahkan ketika anak masih dalam usia kanak-kanak. Tentu saja ukuran kemampuannya berbeda-beda. Tetapi pendidikan ini dapat dimulai dari hal-hal yang kecil seperti membereskan mainannya atau menaruh piring di tempatnya bahkan hal yang besar yang berkaitan dengan tanggung jawab yang akan ditanggungnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala (jika itu dilakukan ketika telah baligh). Seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hasan bin Ali dalam hadits sebagai berikut
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: أخذ الحسن بن عليٍ رضي الله عنهما تمرة من تمرة الصدقة فجعلها فى فِيه. فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: كخ، كخ، اِرم بها، أما علمت أنّا لا نأكل الصدقة
“Dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Hasan bin ‘Ali rodhiallahu ‘anhuma mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kih! Kih! (keluarkanlah dan) buanglah kurma itu! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat?’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik seorang anak yang masih sangat kecil agar nantinya seterusnya ia dapat mengetahui dan memilah makanan yang halal dan haram baginya. Padahal kita ketahui bahwa persoalan halal dan haram adalah menyangkut perkara yang penting yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Seringkali seorang ibu ragu-ragu untuk memberikan tugas atau tanggung jawab kepada anak-anak. Bahkan saat-saat yang tepat terlewatkan begitu saja dari para orang tua karena merasa kasihan pada si kecil. Padahal, seorang anak sesungguhnya justru menyukai ketika diberikan tugas-tugas kerumahtanggaan, sebagai contoh mencuci piring dan gelasnya, mengepel dan lain-lain. Yang menjadi permasalahan, terkadang orang tua merasa apa yang dilakukan anaknya malah akan menambah pekerjaannya atau malah merepotkan. Maka sebenarnya ini dapat dicarikan solusinya.
Teknik Yang Tepat
Seperti telah disebutkan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Hasan yang masih kecil dengan teguran yang berbeda dengan teguran kepada orang dewasa. Maka orang tua dalam menegur atau memberitahukan tentang pekerjaan yang bisa diberikan kepadanya juga dengan cara-cara yang berbeda dengan orang dewasa. Semisal tentang pekerjaan yang jika dilakukan anak dianggap malah merepotkan, maka coba hilangkan anggapan seperti ini. Lihatlah sisi positifnya. Anak ketika usia ini menyukai pekerjaan yang diberikan. Maka bersabar adalah poin yang harus ditekankan pada diri orang tua. Berikanlah batasan pekerjaan pada hal-hal yang berkaitan dengan mereka (sang anak). Semisal mencuci hanya mencuci piring dan gelas yang mereka gunakan. Sehingga baik dari sang anak ataupun orang tua sama-sama tidak merasa terbebani.
Menegur Anak
Termasuk dalam hal mendidik tanggung jawab pada anak adalah menegurnya dari kesalahan yang telah dilakukannya. Hal ini sebagaimana dicontohkan dalam hadits pertama dalam artikel ini dan juga dalam hadits berikut:
عن عبد الله بن بسر ااصحابّي ر ضي الله عنه قال: بعثْني أميّ ألى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم بقِطْف من عِنَبٍ فأكلت منه قبل أن أبلغه إيّاه فلمّا جئت به أخذ بأذني، وقال: يا غـدر
Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi rodhiallahu ‘anhu ia berkata: “Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’” (HR. Ibnu Sunni)
Dari sini dapat diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak-anak. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan seorang anak tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan, dan sisi lain beliau menghukum juga dengan tidak berlebihan. Termasuk dalam menegur adalah mengingatkan seorang anak bila terjadi pertengkaran dengan teman lainnya (yang ini memang biasa terjadi pada anak-anak) untuk berani minta maaf. Minta maaf adalah sebuah wujud tanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuatnya. Dan dalam mengajarkan ini, orang tua harus dapat bersikap adil sehingga seorang anak tidak merasa terpojokkan dan mentalnya jatuh. Salah satu caranya adalah dengan mendorong kedua belah pihak untuk saling memaafkan sambil diingatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما زاد الله عبدا يعفو إلاّ عزّا و ما تواضع أحد لله إلاّ رفعه الله
“Allah tidak menambah seorang hamba yang mau memaafkan kecuali kemuliaan dan tidaklah seseorang itu bersikap rendah diri kepada Allah kecuali Allah pasti akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Tidak Hanya Tanggung Jawab Duniawi
Hal yang sangat penting untuk diingat oleh para pendidik, pendidikan tanggung jawab tidak hanya berkaitan dengan perkara-perkara di dunia seperti membereskan tugas-tugas, mainan dan lain sebagainya. Ada tanggung jawab yang sangat penting yang harus pula dididik mulai dari usia yang masih belia. Dan ini berkaitan dengan rukun Islam yaitu penegakkan sholat lima waktu. Tidaklah seseorang meninggalkan sholat karena meremehkan tanggung jawabnya nanti di hadapan Allah, padahal sholat adalah hal yang pertama kali dipertanyakan ketika penghisaban nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا الصَّبِيَّ با الصّلاةِ إذَا بلغ سبع سنين، وإذا بلغ عشر سنين فاضرِبوه عليها
“Perintahkanlah anak-anak untuk mendirikan sholat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan sholat.” (HR. Abu Daud dan lain-lain dari jalan Sabrah bin Ma’bad)
Dari hadits ini, maka adalah tanggung jawab seorang bapak atau wali untuk memerintahkan anak-anak mereka untuk mendirikan sholat fardhu ketika berumur tujuh tahun. Dan yang diwajibkan adalah memerintahkan mereka. Adapun mereka melaksanakan atau tidak maka mereka tidak berdosa (Abdul Hakim Amir Abdat, Menanti Buah Hati). Sedangkan setelah berumur sepuluh tahun, maka wajib bagi bapak atau wali untuk memukul anak-anak mereka jika mereka meninggalkan sholat fardhu. Pukulan ini tentulah tidak pada muka dan tidak membekas pada tubuh.
Demikian yang dapat penulis berikan sedikit tentang pendidikan tanggung jawab pada anak. Masih banyak poin-poin tentang tanggung jawab yang dapat ditanamkan pada diri anak. Agar lebih dapat mendapat pembahasan yang luas silakan melihat pada kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan. Tanggung jawab yang menjadi poin untuk dididik pada anak sesungguhnya juga merupakan hal yang patut diingat oleh setiap pemimpin dalam hal ini ayah dan ibu yang semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya diakhirat nanti atas apa yang mereka pimpin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kemudahan dan kesabaran untuk melaksanakan amanah ini. Wallahu A’lam.
Maraji’:
Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk Yang Dinanti. Abdul Hakim bin Amir Abdat. Darul Qolam. Cetakan IV 2005
Tumbuh di Bawah Naungan Ilahi. Syaikh Jamal Abdul Rahman. Media Hidayah. Cetakan IV 2002
Di Bawah Asuhan Nabi. Muhammad Thalib. Hidayah Ilahi. 2003
Muroja’ah: Ust. Subkhan Khadafi, Lc.
Pembahasan tentang tanggung jawab adalah masalah yang cukup berat. Apalagi bila diletakkan cermin ke masing-masing dari diri kita. Nah, sambil terus berusaha untuk menjalankan setiap tanggung jawab yang ada - yang nantinya akan ditanya di hari akhir - maka kita juga perlu mendidik anak-anak kita memiliki sikap tanggung jawab yang ini bermanfaat sangat besar dalam pembentukan sikap di kemudian hari insya Allah. Mungkin akan timbul sederet pertanyaan; apakah bisa mendidik tanggung jawab pada anak? Bagaimana? Memangnya sudah bisa dimengerti dan lain sebagainya. Pada tulisan ini, kita akan mencontoh dari teladan terbaik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik anak-anak untuk bertanggung-jawab.
Kapan Waktu yang Tepat ?
Mendidik tanggung jawab sesungguhnya dapat dilakukan bahkan di usia masih sangat kecil yaitu balita. Ustadz Abdul Hakim dalam bukunya “Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk yang Dinanti” membagi usia anak-anak menjadi dua tahapan, yaitu sebelum tamyiz dan sesudah tamyiz. Tamyiz secara bahasa bermakna membedakan di antara sesuatu dan anak-anak yang yang telah dapat membedakan sesuatu dengan baik terutama di dalam hal-hal yang membahayakan dirinya dinamakan mumayyiz. Masih dalam kitabnya, Ustadz Abdul Hakim berkata, “Pendidikan yang terbaik bagi anak sebelum dan sesudah tamyiz dengan jalan mendengar dan melihat kepada sesuatu yang baik dan terbaik menurut agama dan bukan menurut akal fikiran dan adat-adat manusia yang menyalahi agama yang mulia.”
Dan berdasarkan kenyataan yang ada, pendidikan tanggung jawab ini memang dapat dilakukan bahkan ketika anak masih dalam usia kanak-kanak. Tentu saja ukuran kemampuannya berbeda-beda. Tetapi pendidikan ini dapat dimulai dari hal-hal yang kecil seperti membereskan mainannya atau menaruh piring di tempatnya bahkan hal yang besar yang berkaitan dengan tanggung jawab yang akan ditanggungnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala (jika itu dilakukan ketika telah baligh). Seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hasan bin Ali dalam hadits sebagai berikut
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: أخذ الحسن بن عليٍ رضي الله عنهما تمرة من تمرة الصدقة فجعلها فى فِيه. فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: كخ، كخ، اِرم بها، أما علمت أنّا لا نأكل الصدقة
“Dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Hasan bin ‘Ali rodhiallahu ‘anhuma mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kih! Kih! (keluarkanlah dan) buanglah kurma itu! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat?’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik seorang anak yang masih sangat kecil agar nantinya seterusnya ia dapat mengetahui dan memilah makanan yang halal dan haram baginya. Padahal kita ketahui bahwa persoalan halal dan haram adalah menyangkut perkara yang penting yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Seringkali seorang ibu ragu-ragu untuk memberikan tugas atau tanggung jawab kepada anak-anak. Bahkan saat-saat yang tepat terlewatkan begitu saja dari para orang tua karena merasa kasihan pada si kecil. Padahal, seorang anak sesungguhnya justru menyukai ketika diberikan tugas-tugas kerumahtanggaan, sebagai contoh mencuci piring dan gelasnya, mengepel dan lain-lain. Yang menjadi permasalahan, terkadang orang tua merasa apa yang dilakukan anaknya malah akan menambah pekerjaannya atau malah merepotkan. Maka sebenarnya ini dapat dicarikan solusinya.
Teknik Yang Tepat
Seperti telah disebutkan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Hasan yang masih kecil dengan teguran yang berbeda dengan teguran kepada orang dewasa. Maka orang tua dalam menegur atau memberitahukan tentang pekerjaan yang bisa diberikan kepadanya juga dengan cara-cara yang berbeda dengan orang dewasa. Semisal tentang pekerjaan yang jika dilakukan anak dianggap malah merepotkan, maka coba hilangkan anggapan seperti ini. Lihatlah sisi positifnya. Anak ketika usia ini menyukai pekerjaan yang diberikan. Maka bersabar adalah poin yang harus ditekankan pada diri orang tua. Berikanlah batasan pekerjaan pada hal-hal yang berkaitan dengan mereka (sang anak). Semisal mencuci hanya mencuci piring dan gelas yang mereka gunakan. Sehingga baik dari sang anak ataupun orang tua sama-sama tidak merasa terbebani.
Menegur Anak
Termasuk dalam hal mendidik tanggung jawab pada anak adalah menegurnya dari kesalahan yang telah dilakukannya. Hal ini sebagaimana dicontohkan dalam hadits pertama dalam artikel ini dan juga dalam hadits berikut:
عن عبد الله بن بسر ااصحابّي ر ضي الله عنه قال: بعثْني أميّ ألى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم بقِطْف من عِنَبٍ فأكلت منه قبل أن أبلغه إيّاه فلمّا جئت به أخذ بأذني، وقال: يا غـدر
Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi rodhiallahu ‘anhu ia berkata: “Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’” (HR. Ibnu Sunni)
Dari sini dapat diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak-anak. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan seorang anak tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan, dan sisi lain beliau menghukum juga dengan tidak berlebihan. Termasuk dalam menegur adalah mengingatkan seorang anak bila terjadi pertengkaran dengan teman lainnya (yang ini memang biasa terjadi pada anak-anak) untuk berani minta maaf. Minta maaf adalah sebuah wujud tanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuatnya. Dan dalam mengajarkan ini, orang tua harus dapat bersikap adil sehingga seorang anak tidak merasa terpojokkan dan mentalnya jatuh. Salah satu caranya adalah dengan mendorong kedua belah pihak untuk saling memaafkan sambil diingatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما زاد الله عبدا يعفو إلاّ عزّا و ما تواضع أحد لله إلاّ رفعه الله
“Allah tidak menambah seorang hamba yang mau memaafkan kecuali kemuliaan dan tidaklah seseorang itu bersikap rendah diri kepada Allah kecuali Allah pasti akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Tidak Hanya Tanggung Jawab Duniawi
Hal yang sangat penting untuk diingat oleh para pendidik, pendidikan tanggung jawab tidak hanya berkaitan dengan perkara-perkara di dunia seperti membereskan tugas-tugas, mainan dan lain sebagainya. Ada tanggung jawab yang sangat penting yang harus pula dididik mulai dari usia yang masih belia. Dan ini berkaitan dengan rukun Islam yaitu penegakkan sholat lima waktu. Tidaklah seseorang meninggalkan sholat karena meremehkan tanggung jawabnya nanti di hadapan Allah, padahal sholat adalah hal yang pertama kali dipertanyakan ketika penghisaban nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا الصَّبِيَّ با الصّلاةِ إذَا بلغ سبع سنين، وإذا بلغ عشر سنين فاضرِبوه عليها
“Perintahkanlah anak-anak untuk mendirikan sholat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan sholat.” (HR. Abu Daud dan lain-lain dari jalan Sabrah bin Ma’bad)
Dari hadits ini, maka adalah tanggung jawab seorang bapak atau wali untuk memerintahkan anak-anak mereka untuk mendirikan sholat fardhu ketika berumur tujuh tahun. Dan yang diwajibkan adalah memerintahkan mereka. Adapun mereka melaksanakan atau tidak maka mereka tidak berdosa (Abdul Hakim Amir Abdat, Menanti Buah Hati). Sedangkan setelah berumur sepuluh tahun, maka wajib bagi bapak atau wali untuk memukul anak-anak mereka jika mereka meninggalkan sholat fardhu. Pukulan ini tentulah tidak pada muka dan tidak membekas pada tubuh.
Demikian yang dapat penulis berikan sedikit tentang pendidikan tanggung jawab pada anak. Masih banyak poin-poin tentang tanggung jawab yang dapat ditanamkan pada diri anak. Agar lebih dapat mendapat pembahasan yang luas silakan melihat pada kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan. Tanggung jawab yang menjadi poin untuk dididik pada anak sesungguhnya juga merupakan hal yang patut diingat oleh setiap pemimpin dalam hal ini ayah dan ibu yang semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya diakhirat nanti atas apa yang mereka pimpin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kemudahan dan kesabaran untuk melaksanakan amanah ini. Wallahu A’lam.
Maraji’:
Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk Yang Dinanti. Abdul Hakim bin Amir Abdat. Darul Qolam. Cetakan IV 2005
Tumbuh di Bawah Naungan Ilahi. Syaikh Jamal Abdul Rahman. Media Hidayah. Cetakan IV 2002
Di Bawah Asuhan Nabi. Muhammad Thalib. Hidayah Ilahi. 2003
Mon Oct 24, 2011 5:09 am by raden galuh agung permana
» update forum 2
Wed Sep 14, 2011 10:00 am by Admin
» Resep Kue Pernikahan
Sat Jun 04, 2011 12:42 pm by aisyah salimah
» Hidup Tak Kenal Kompromi
Sat Jun 04, 2011 11:54 am by aisyah salimah
» Rumah Dunia VS Akhirat
Sun May 22, 2011 11:59 pm by aisyah salimah
» Selamat Jalan Ibunda Tercinta
Sat May 21, 2011 3:48 pm by aisyah salimah
» Cara Youtube tanpa buffer tanpa software
Tue May 10, 2011 8:16 pm by kholis
» tok tok tok...!
Mon May 09, 2011 7:43 pm by santii
» catatan da'wah
Sat May 07, 2011 10:08 pm by nadiachya