Seperti biasa Toni, Kepala Cabang sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Nanda, putra pertamanya yang baru duduk di kelas 2 SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
“Kok belum tidur?” sapa Toni sambil mencium kening anaknya. Biasanya Nanda sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Nanda menjawab, “Aku menunggu Ayah pulang, sebab aku mau bertanya berapa sih gaji Ayah.”
“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah segala? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah, enggak. Pengin tahu aja.”
“Boleh, kamu hitung saja sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,- Dan setiap bulan rata-rata Ayah bekerja selama 25 hari. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”
Nanda berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Toni beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Nanda berlari mengikutinya.
“Kalau satu hari Ayah dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Ayah digaji Rp. 40.000,- dong,” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Toni. Tapi Nanda tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Nanda kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- nggak?”
“Sudah, nggak usah macam-macam. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek dan mau mandi dulu. Tidurlah.”
“Tapi, Ayah…”
Kesabaran Toni habis. Pekerjaan di kantornya seharian ini betul-betul menguras tenaganya.
“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Nanda. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Toni nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Nanda di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Nanda didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangan yang satu dan mainan ular tangga di tangan lainnya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Toni berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Nanda. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp. 5.000,- saja, lebih dari itu pun Ayah beri.”
Tangis Nanda langsung berhenti. Ia bangkit dan duduk sambil memandang ayahnya.
“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”
“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Toni lembut.
“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. 30 menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau membeli waktu Ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp. 15.000,- Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam berarti Rp. 20.000,- Uang tabunganku kurang Rp. 5.000,- Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Nanda polos.
Toni terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah itu erat-erat. Matanya berkaca-kaca.
* * *
Teman, inilah yang saat ini banyak terjadi diantara kita. Kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan saat ini memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka. Saat dimana mereka tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan kepada suster, pembantu atau sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih banyak. Mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin merasakan sentuhan kasih-sayang Ayah dan Ibunya.
Apakah hal ini berlebihan? Sebagian besar wanita karier yang nampaknya menikmati emansipasi-nya, diam-diam menangis dalam hati ketika anak-anak mereka lebih dekat dengan suster, supir, dan pembantu daripada ibu kandung mereka sendiri. Seorang wanita muda yang menduduki posisi asisten manajer sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan bagaimana anaknya yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk ibunya, tetapi berteriak-teriak memanggil nama pembantu mereka yang sedang mudik lebaran.
(Reni-Soulful)
Myquran.com
“Kok belum tidur?” sapa Toni sambil mencium kening anaknya. Biasanya Nanda sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Nanda menjawab, “Aku menunggu Ayah pulang, sebab aku mau bertanya berapa sih gaji Ayah.”
“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah segala? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah, enggak. Pengin tahu aja.”
“Boleh, kamu hitung saja sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,- Dan setiap bulan rata-rata Ayah bekerja selama 25 hari. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”
Nanda berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Toni beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Nanda berlari mengikutinya.
“Kalau satu hari Ayah dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Ayah digaji Rp. 40.000,- dong,” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Toni. Tapi Nanda tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Nanda kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- nggak?”
“Sudah, nggak usah macam-macam. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek dan mau mandi dulu. Tidurlah.”
“Tapi, Ayah…”
Kesabaran Toni habis. Pekerjaan di kantornya seharian ini betul-betul menguras tenaganya.
“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Nanda. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Toni nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Nanda di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Nanda didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangan yang satu dan mainan ular tangga di tangan lainnya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Toni berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Nanda. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp. 5.000,- saja, lebih dari itu pun Ayah beri.”
Tangis Nanda langsung berhenti. Ia bangkit dan duduk sambil memandang ayahnya.
“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”
“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Toni lembut.
“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. 30 menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau membeli waktu Ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp. 15.000,- Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam berarti Rp. 20.000,- Uang tabunganku kurang Rp. 5.000,- Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Nanda polos.
Toni terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah itu erat-erat. Matanya berkaca-kaca.
* * *
Teman, inilah yang saat ini banyak terjadi diantara kita. Kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan saat ini memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka. Saat dimana mereka tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan kepada suster, pembantu atau sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih banyak. Mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin merasakan sentuhan kasih-sayang Ayah dan Ibunya.
Apakah hal ini berlebihan? Sebagian besar wanita karier yang nampaknya menikmati emansipasi-nya, diam-diam menangis dalam hati ketika anak-anak mereka lebih dekat dengan suster, supir, dan pembantu daripada ibu kandung mereka sendiri. Seorang wanita muda yang menduduki posisi asisten manajer sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan bagaimana anaknya yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk ibunya, tetapi berteriak-teriak memanggil nama pembantu mereka yang sedang mudik lebaran.
(Reni-Soulful)
Myquran.com
Mon Oct 24, 2011 5:09 am by raden galuh agung permana
» update forum 2
Wed Sep 14, 2011 10:00 am by Admin
» Resep Kue Pernikahan
Sat Jun 04, 2011 12:42 pm by aisyah salimah
» Hidup Tak Kenal Kompromi
Sat Jun 04, 2011 11:54 am by aisyah salimah
» Rumah Dunia VS Akhirat
Sun May 22, 2011 11:59 pm by aisyah salimah
» Selamat Jalan Ibunda Tercinta
Sat May 21, 2011 3:48 pm by aisyah salimah
» Cara Youtube tanpa buffer tanpa software
Tue May 10, 2011 8:16 pm by kholis
» tok tok tok...!
Mon May 09, 2011 7:43 pm by santii
» catatan da'wah
Sat May 07, 2011 10:08 pm by nadiachya