Cinta yang Tak Rumit
(Helvy Tiana Rosa)
Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu
seseorang? Kebanyakan kita menyapa karena kita mengenal atau minimal
mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena kita menyukai atau
menghormati
orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau punya keperluan. Mungkin
juga
sekadar basa basi. Apa pun itu, saya belajar banyak soal ini dari
seorang
anak kecil yang berbeda umur 26 tahun dari saya.
Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh
dari
rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada di sekitar
kami.
Empat tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub menyaksikan
bagaimana cara ia menyapa! Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau
ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum
lebar Faiz.
"Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu...."
"Assalaamu'alaikum. ..."
"Mari Oma, mari Opa..."
"Dari mana, Tante?"
"Wah hari ini Kakak berseri sekali!"
"Mau kuliah, Bang?"
"Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"
Dan seterusnya.. ..
Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz," Mas
Faiz,
apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?"
Faiz tertawa. "Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku
mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain.
Lagipula senyum itu kan sedekah, Bunda."
Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum
berumur
delapan tahun. "Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu
mungkin
sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.
Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah,
mereka
kerap membicarakan Faiz.
"Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya selalu
menegur
lebih dulu, senyumnya manis sekali."
"Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya? "
Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya tak pernah
mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang
banyak
belajar dari Faiz!
Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk
di
bangku SD.
Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu
dipanggilnya, diajak makan dan minum. "Hari ini di rumah masak sop dan
perkedel." Atau "Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak
mengantuk?
Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil celengan dan
mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.
Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun
disuruh
mampir. Ada saja yang ditawarkannya. "Istirahat dulu di sini, Pak. Kan
capek. Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau mau
makan
nasi?" Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga
lainnya
untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu
membutuhkannya. "Apa salahnya sih menolong orang?" ujarnya.
Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari di mana
kami
memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang
entah
siapa. Faiz mengundang mereka secara tak terduga.
"Ikhlas yaaa, Bunda...," katanya sambil tersenyum manis.
Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan terbata?
Sederhana.
Polos.
Nyata.
What a real great simple life..
Sumber : yahoo groups AIr34
(Helvy Tiana Rosa)
Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu
seseorang? Kebanyakan kita menyapa karena kita mengenal atau minimal
mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena kita menyukai atau
menghormati
orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau punya keperluan. Mungkin
juga
sekadar basa basi. Apa pun itu, saya belajar banyak soal ini dari
seorang
anak kecil yang berbeda umur 26 tahun dari saya.
Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh
dari
rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada di sekitar
kami.
Empat tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub menyaksikan
bagaimana cara ia menyapa! Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau
ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum
lebar Faiz.
"Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu...."
"Assalaamu'alaikum. ..."
"Mari Oma, mari Opa..."
"Dari mana, Tante?"
"Wah hari ini Kakak berseri sekali!"
"Mau kuliah, Bang?"
"Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"
Dan seterusnya.. ..
Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz," Mas
Faiz,
apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?"
Faiz tertawa. "Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku
mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain.
Lagipula senyum itu kan sedekah, Bunda."
Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum
berumur
delapan tahun. "Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu
mungkin
sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.
Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah,
mereka
kerap membicarakan Faiz.
"Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya selalu
menegur
lebih dulu, senyumnya manis sekali."
"Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya? "
Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya tak pernah
mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang
banyak
belajar dari Faiz!
Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk
di
bangku SD.
Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu
dipanggilnya, diajak makan dan minum. "Hari ini di rumah masak sop dan
perkedel." Atau "Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak
mengantuk?
Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil celengan dan
mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.
Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun
disuruh
mampir. Ada saja yang ditawarkannya. "Istirahat dulu di sini, Pak. Kan
capek. Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau mau
makan
nasi?" Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga
lainnya
untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu
membutuhkannya. "Apa salahnya sih menolong orang?" ujarnya.
Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari di mana
kami
memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang
entah
siapa. Faiz mengundang mereka secara tak terduga.
"Ikhlas yaaa, Bunda...," katanya sambil tersenyum manis.
Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan terbata?
Sederhana.
Polos.
Nyata.
What a real great simple life..
Sumber : yahoo groups AIr34
Mon Oct 24, 2011 5:09 am by raden galuh agung permana
» update forum 2
Wed Sep 14, 2011 10:00 am by Admin
» Resep Kue Pernikahan
Sat Jun 04, 2011 12:42 pm by aisyah salimah
» Hidup Tak Kenal Kompromi
Sat Jun 04, 2011 11:54 am by aisyah salimah
» Rumah Dunia VS Akhirat
Sun May 22, 2011 11:59 pm by aisyah salimah
» Selamat Jalan Ibunda Tercinta
Sat May 21, 2011 3:48 pm by aisyah salimah
» Cara Youtube tanpa buffer tanpa software
Tue May 10, 2011 8:16 pm by kholis
» tok tok tok...!
Mon May 09, 2011 7:43 pm by santii
» catatan da'wah
Sat May 07, 2011 10:08 pm by nadiachya