بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ringkasan Beberapa Faidah Ilmiah Seputar Pernikahan Dalam Keadaan Hamil
(dari Tanya Jawab Kelas Takhasshus Rabu 17 Juni 2009 ba’da zhuhur bersama Al-Ustadz Abdul Barr hafizhahullah di Al-Madrasah As-Salafiyah, masjid Fatahillah Depok):
Faidah Pertama: Laki-laki dan wanita yang berzina hendaklah segera bertaubat kepada Allah Ta’ala dan tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum bertaubat. Allah Ta’ala berfirman:
"Laki-laki pezina tidak menikahi melainkan perempuan pezina atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman". (An-Nur: 3).
( Adapun syarat-syarat taubat bisa dilihat di sini: http://kajiansalafy ui.wordpress. com/2009/ 06/07/taubat/ )
Faidah Kedua: Berdasarkan ayat di atas, apakah boleh seorang Muslim atau Muslimah yang berzina –na’udzu billahi min dzalik- untuk menikahi pezina dan orang musyrik?
Jawab: Tidak boleh, sebab ayat tersebut bukanlah menunjukkan pembolehan menikahi pezina atau seorang musyrik jika sama-sama pezina, tetapi maksud ayat tersebut justru sebagai bentuk Taubikh (celaan yang keras) terhadap para pezina.
Faidah Ketiga: Bolehkah wanita yang hamil dari zina menikah sebelum melahirkan?
Jawab: Boleh, dan merupakan pendapat Jumhur Ulama, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Adapun firman Allah Ta’ala: ”Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (Ath-Thalaq: 4), maka sesuai konteks ayat ini bahwa wanita-wanita yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah yang hamil dari pernikahan yang sah. Adapun yang hamil dari zina, maka tidak ada kemulian bagi airnya pezina.
Faidah Keempat: Haruskah wanita yang hamil dari zina menikah dengan bapak biologis dari anak yang dikandungnya ataukah boleh dengan selainnya?
Jawab: Setiap dari keduanya boleh menikahi wanita yang hamil dari zina dengan syarat:
Pertama: taubat dari dosa zina tersebut.
Kedua: setelah menikah tidak boleh berhubungan suami istri sebelum wanita tersebut melahirkan, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.”. (HR. Abu Daud).
Faidah Kelima: Apabila wanita yang hamil dari zina menikah dengan bapak biologis dari anak yang dikandungnya apakah boleh berhubungan suami istri setelah menikah?
Jawab: Tidak boleh sampai melahirkan, karena secara syar’i anak yang dikandungnya bukanlah anak dari bapak biologisnya karena dihasilkan dari hubungan yang haram, maka tidak boleh mencampur air yang haram dengan yang halal.
Faedah keenam: Tidak boleh menasabkan anak hasil zina kepada bapak biologisnya karena anak tersebut bukanlah anaknya secara syar’i.
Faidah Ketujuh: Apabila seorang istri berzina –na’udzu billahi min dzalik- dan hamil dari perzinaan tersebut, maka secara syar’i milik siapakah anak yang dikandungnya?
Jawab: Milik suaminya yang sah, meskipun secara biologis dihasilkan dari zina, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Anak itu miliknya (pemilik) kasur dan bagi pezina adalah batu (dirajam)”. (Muttafaqun’alaihi) .
Faedah Kedelapan: Apakah anak hasil zina ikut menanggung dosa orang tuanya?
Jawab: Tidak sama sekali, karena seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala: "Dan tidaklah seorang yang berbuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain". (Al-Anfal: 164).
Semoga bermanfaat, barokallahu fiikum.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ringkasan Beberapa Faidah Ilmiah Seputar Pernikahan Dalam Keadaan Hamil
(dari Tanya Jawab Kelas Takhasshus Rabu 17 Juni 2009 ba’da zhuhur bersama Al-Ustadz Abdul Barr hafizhahullah di Al-Madrasah As-Salafiyah, masjid Fatahillah Depok):
Faidah Pertama: Laki-laki dan wanita yang berzina hendaklah segera bertaubat kepada Allah Ta’ala dan tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum bertaubat. Allah Ta’ala berfirman:
"Laki-laki pezina tidak menikahi melainkan perempuan pezina atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman". (An-Nur: 3).
( Adapun syarat-syarat taubat bisa dilihat di sini: http://kajiansalafy ui.wordpress. com/2009/ 06/07/taubat/ )
Faidah Kedua: Berdasarkan ayat di atas, apakah boleh seorang Muslim atau Muslimah yang berzina –na’udzu billahi min dzalik- untuk menikahi pezina dan orang musyrik?
Jawab: Tidak boleh, sebab ayat tersebut bukanlah menunjukkan pembolehan menikahi pezina atau seorang musyrik jika sama-sama pezina, tetapi maksud ayat tersebut justru sebagai bentuk Taubikh (celaan yang keras) terhadap para pezina.
Faidah Ketiga: Bolehkah wanita yang hamil dari zina menikah sebelum melahirkan?
Jawab: Boleh, dan merupakan pendapat Jumhur Ulama, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Adapun firman Allah Ta’ala: ”Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (Ath-Thalaq: 4), maka sesuai konteks ayat ini bahwa wanita-wanita yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah yang hamil dari pernikahan yang sah. Adapun yang hamil dari zina, maka tidak ada kemulian bagi airnya pezina.
Faidah Keempat: Haruskah wanita yang hamil dari zina menikah dengan bapak biologis dari anak yang dikandungnya ataukah boleh dengan selainnya?
Jawab: Setiap dari keduanya boleh menikahi wanita yang hamil dari zina dengan syarat:
Pertama: taubat dari dosa zina tersebut.
Kedua: setelah menikah tidak boleh berhubungan suami istri sebelum wanita tersebut melahirkan, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.”. (HR. Abu Daud).
Faidah Kelima: Apabila wanita yang hamil dari zina menikah dengan bapak biologis dari anak yang dikandungnya apakah boleh berhubungan suami istri setelah menikah?
Jawab: Tidak boleh sampai melahirkan, karena secara syar’i anak yang dikandungnya bukanlah anak dari bapak biologisnya karena dihasilkan dari hubungan yang haram, maka tidak boleh mencampur air yang haram dengan yang halal.
Faedah keenam: Tidak boleh menasabkan anak hasil zina kepada bapak biologisnya karena anak tersebut bukanlah anaknya secara syar’i.
Faidah Ketujuh: Apabila seorang istri berzina –na’udzu billahi min dzalik- dan hamil dari perzinaan tersebut, maka secara syar’i milik siapakah anak yang dikandungnya?
Jawab: Milik suaminya yang sah, meskipun secara biologis dihasilkan dari zina, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Anak itu miliknya (pemilik) kasur dan bagi pezina adalah batu (dirajam)”. (Muttafaqun’alaihi) .
Faedah Kedelapan: Apakah anak hasil zina ikut menanggung dosa orang tuanya?
Jawab: Tidak sama sekali, karena seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala: "Dan tidaklah seorang yang berbuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain". (Al-Anfal: 164).
Semoga bermanfaat, barokallahu fiikum.
Mon Oct 24, 2011 5:09 am by raden galuh agung permana
» update forum 2
Wed Sep 14, 2011 10:00 am by Admin
» Resep Kue Pernikahan
Sat Jun 04, 2011 12:42 pm by aisyah salimah
» Hidup Tak Kenal Kompromi
Sat Jun 04, 2011 11:54 am by aisyah salimah
» Rumah Dunia VS Akhirat
Sun May 22, 2011 11:59 pm by aisyah salimah
» Selamat Jalan Ibunda Tercinta
Sat May 21, 2011 3:48 pm by aisyah salimah
» Cara Youtube tanpa buffer tanpa software
Tue May 10, 2011 8:16 pm by kholis
» tok tok tok...!
Mon May 09, 2011 7:43 pm by santii
» catatan da'wah
Sat May 07, 2011 10:08 pm by nadiachya