15 Agustus 2009
Sunyi…
Itulah yang sedang kurasakan. Bergelut dengan aktifitas dakwah yang
menyita banyak perhatian, baik tenaga, harta, waktu dan sebagainya,
seakan menempa diriku untuk terus belajar menjadi mujahid tangguh. Tapi
kini, hatiku sedang dirundung kegalauan. Galau akan saudara-saudaraku
dalam barisan dakwah yang katanya amanah, komitmen, bersungguh-sungguh
namun seakan semua itu hanyalah teori-teori dalam pertemuan mingguan.
Hanya dibahas, ditanya-jawabkan untuk kemudian disimpan dalam catatan
kecil atau buku agenda yang sudah lusuh hingga pekan depan
mempertemukan mereka lagi, tanpa ada amal perbaikan yang lebih baik.
Ya… mungkin itu yang ada dibenakku saat ini tentang su’udzhan-ku
terhadap mereka, setelah seribu satu alasan untuk berhusnudzhan. Dan
juga masa depan serta kesibukannku sebagai seorang mahasiswi pasca
sarjana dan seorang istri. Benar-benar merasa sepertinya tidak punya
waktu lagi untuk berdakwah.
Kini kutermenung kembali akan hakikat dakwah ini. Sebenarnya apa yang
ku cari dari dakwah? Dimanakah yang dinamakan konsep muntiz yang sering
diceritakan sebagai sesuatu yang hebat? Apakah itu hanya pemanis cerita
tentang dakwah belaka? Dimanakah konsep yang disebut ukhuwah? Kalau
dulu, sebelum bekerja jika ada seorang ikhwah melontarkannya kata-kata
“afwan ukh, ana gak bisa bantu banyak…” atau sms yang berbunyi “afwan
ukh, ana gak
bisa datang untuk syuro malam ini…” atau kata-kata berawalan “afwan
ukh…” lainnya dengan seribu satu alasan tidak bisa hadir untuk sekedar
merencanakan strategi-strategi dakwah kedepannya, dan hal ini.yang
membuatku merasa agak jengkel, dan pada akhirnya berbuntut pemakluman.
Itulah diriku yang duluw, tapi sekarang, merasa diri malah yang
melakukan itu. Sering banget meninggalkan agenda-agenda dakwah. Hanya
alasan kesibukan, dan adaptasi diri sebagai seorang Mahasiswa en pkerja
profesional dengan bejibun aktivitas yang ”itu-itu saja” namun terasa
banyak menyita waktu serta kesibukan mahasiswi pasca yang masya Allah
diluar prediksi saya sibuknya. Serasa pengen bilang“Izinkan aku untuk
cuti dari dakwah ini”, mungkin untuk seminggu, sebulan, setahun atau
bahkan selamanya. Lebih baik aku konsenstrasi dengan studiku yang kini
sedang berantakan, atau dengan impian-impianku yang belum terpenuhi,
atau… dengan lebih memperhatikan ibuku yang sudah semakin ingin ku
berada di rumah, toh tanpa aku pun dakwah tetap berjalan, bukan???
Mencoba menasehati diri sendiri dengan kondisi dan keadaan diri yang
tidak menentu, serta fikiran yang sudah muali banyak memikirkan banyak
hal. Let’s to brainstrom ur mind mel..
Dalam dunia dakwah yang sedang kita geluti seperti sekarang ini, tidak jarang kita mengalami konflik atau permasalahan-
permasalahan. Dari sekian permasalahan tersebut terkadang ada
konflik-konflik yang timbul di kalangan internal aktivis dakwah
sendiri. Pernah suatu ketika dalam aktivitas sebuah barisan dakwah, ada
seorang ikhwan yang mengutarakan sakit hatinya terhadap saudaranya yang
tidak amanah dengan tugas dan tanggungjawab dakwahnya. Di lain waktu di
sebuah lembaga dakwah kampus, seorang akhwat “minta cuti” lantaran
sakit hatinya terhadap akhwat lain yang sering kali dengan seenaknya
berlagak layaknya seorang bos dalam berdakwah.
Pernah
pula suatu waktu seorang kawan bercerita tentang seorang ikhwan yang
terdzalimi oleh saudara-saudaranya sesama aktifis dakwah. Sebuah kisah
nyata yang tak pantas untuk terulang namun penuh hikmah untuk
diceritakan agar menjadi pelajaran bagi kita. Ceritanya, di akhir masa
kuliahnya sebut saja si X (ikhwan yang terdzalimi) hanya mampu
menyelesaikan studinya dalam waktu yang terlalu lama, enam tahun.
Sedangkan di lain sisi, teman-temannya sesama (yang katanya) aktifis
dakwah lulus dalam waktu empat tahun. Singkat cerita, ketika si X
ditanya mengapa ia hanya mampu lulus dalam waktu enam tahun sedangkan
teman-temannya lulus dalam waktu empat tahun? Apa yang ia jawab? Ia
menjawab “Aku lulus dalam waktu enam tahun karena aku harus bolos
kuliah untuk mengerjakan tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan
oleh saudara-saudaraku yang lulus dalam waktu empat tahun.”
Subhanallah… di satu sisi kita merasa bangga dengan si X, dengan
militansinya yang tinggi beliau rela untuk bolos dan mengulang mata
kuliah demi terlaksananya roda dakwah agar terus berputar dengan
mengakumulasikan
tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan teman-temannya. Namun di
sisi lain kita pun merasa sedih… sedih dengan kader-kader dakwah
(saudara-saudaranya Si X) yang dengan berbagai macam alasan duniawi
rela meninggalkan tugas-tugas dakwah yang seharusnya mereka kerjakan.
Semester satu kemaren nilai saya mungkin tidak sejajar dengan
teman-teman S2 dari UGM, sebenarnya alasannya karena menyiapkan acara
pernikahan teman yang tergolong mepet waktu perencanaanya, apalagi
penetapan tanggal nya dan semua prosesi dadakannya itu berlangsung pas
sibuknya pekerjaan. Tetapi dikalangan teman-teman S2 va berkembang
rumor, klo aktivis tuh ga terlalu bagus akademiknya, tahu sendiri lah
ya anak-anak S2 tentu semuanya jago dan merupakan putra terbaik pilihan
universitas asal, maupun dosen terbaik dari asal institusinya,
bayangkan saja saya bersejejar dengan mereka. Dan ternyata dari
universitas ataupun institusi asal, anak-anak ROHIS ataupun aktivis
dakwah semuanya ya gitu ga ada yang menonjol secara akademik. Waktu
tahu rumor itu saya agak kaget, saya sadar saya baru saja menambah
catatan baru pandangan bagi mereka, aktvis kalah akademik. Whuah… hal
ini tidak bisa dibiarkan donk..
Semoga kisah dan cerita saya tersebut tidak terulang kembali di masa
mendatang dan masa setelah kita, cukuplah menjadi sebuah pelajaran
berharga…. Semoga kisah tersebut membuat kita sadar, bahwa setiap
aktifitas yang di dalamnya terdapat interaksi antar manusia, termasuk
dakwah, kita tiada akan bisa mengelakkan diri dari komunikasi hati. Ya,
setiap aktifis dakwah adalah manusia-manusia yang memiliki
hati yang tentu saja berbeda-beda. Ada aktifis yang hatinya kuat dengan
berbagai macam tingkah laku aktifis lain yang dihadapkan kepadanya.
Tapi jangan pula kita lupa bahwa tidak sedikit aktifis-aktifis yang
tiada memiliki ketahanan tinggi dalam menghadapi tingkah polah aktifis
dakwah lain yang kadang memang sarat dengan kekecewaan-kekecewa an yang
sering kali berbuah pada timbulnya sakit hati. Dan kesemuanya itu
adalah sebuah kewajaran sekaligus realita yang harus kita pahami dan
kita terima.
Seringkali kita memukul rata perlakuan kita kepada sahabat-sahabat kita
sesama aktifis dakwah, dengan diri kita sebagai parameternya. Begitu
mudahnya kita melontarkan kata-kata “ Antum telah berguguran di jalan
dakwah, atau kata-kata pahit lainnya atas kelalaian-kelalaian yang kita
lakukan, tanpa dibarengi dengan kesadaran bahwa sangat mungkin
kelalaian yang kita lakukan itu ternyata menyakiti hati saudara kita.
Dan bahkan sebagai pembenaran kita tambahkan alasan bahwa kita hanyalah
manusia biasa yang juga dapat melakukan kekeliruan. Memang benar
bahwasanya aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, bukan malaikat,
sehingga tidak luput dari kelalaian, kesalahan dan lupa. Tapi di saat
yang sama sadarkah kita bahwa kita sedang menghadapi sosok yang juga
manusia biasa? bukan superman, bukan pula malaikat yang bisa menerima
perlakuan seenaknya. Sepertinya adalah sikap yang naif ketika kesadaran
bahwa aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, hanya ditempelkan pada
diri kita sendiri.
Seharusnya
kesadaran bahwa aktifis dakwah adalah manusia biasa itu kita tujukan
juga pada saudara kita sesama aktivis dakwah, bukan cuma kepada kita
sendiri. Dengan begitu kita tidak bisa dengan seenaknya berbuat sesuatu
yang dapat mengecewakan, membuat sakit hati, yang bisa jadi merupakan
sebuah kezhaliman kepada saudara-saudara kita. Mulai sekarang tata diri
pribadi, menyikapi segala sesuatunya dengan bijaksana dan dewasa,
karena hidup cumalah sebentar manfaatkan waktu sebaik mungkin, perbaiki
persepsi manusia tentang sisi minus aktifis dakwah, jadikan sebagai
motivasi, terus berkarya untuk ummat ini, karena tantangan dakwah di
luar sana semakin liar… Sehingga permasalahan internal tidak menjadikan
seorang kader bilang “aku ingin cuti dari dakwah”.
dikutip dr blog Eva Octafiani
semoga lain waktu bisa menulis sendiri... ^_^
Sunyi…
Itulah yang sedang kurasakan. Bergelut dengan aktifitas dakwah yang
menyita banyak perhatian, baik tenaga, harta, waktu dan sebagainya,
seakan menempa diriku untuk terus belajar menjadi mujahid tangguh. Tapi
kini, hatiku sedang dirundung kegalauan. Galau akan saudara-saudaraku
dalam barisan dakwah yang katanya amanah, komitmen, bersungguh-sungguh
namun seakan semua itu hanyalah teori-teori dalam pertemuan mingguan.
Hanya dibahas, ditanya-jawabkan untuk kemudian disimpan dalam catatan
kecil atau buku agenda yang sudah lusuh hingga pekan depan
mempertemukan mereka lagi, tanpa ada amal perbaikan yang lebih baik.
Ya… mungkin itu yang ada dibenakku saat ini tentang su’udzhan-ku
terhadap mereka, setelah seribu satu alasan untuk berhusnudzhan. Dan
juga masa depan serta kesibukannku sebagai seorang mahasiswi pasca
sarjana dan seorang istri. Benar-benar merasa sepertinya tidak punya
waktu lagi untuk berdakwah.
Kini kutermenung kembali akan hakikat dakwah ini. Sebenarnya apa yang
ku cari dari dakwah? Dimanakah yang dinamakan konsep muntiz yang sering
diceritakan sebagai sesuatu yang hebat? Apakah itu hanya pemanis cerita
tentang dakwah belaka? Dimanakah konsep yang disebut ukhuwah? Kalau
dulu, sebelum bekerja jika ada seorang ikhwah melontarkannya kata-kata
“afwan ukh, ana gak bisa bantu banyak…” atau sms yang berbunyi “afwan
ukh, ana gak
bisa datang untuk syuro malam ini…” atau kata-kata berawalan “afwan
ukh…” lainnya dengan seribu satu alasan tidak bisa hadir untuk sekedar
merencanakan strategi-strategi dakwah kedepannya, dan hal ini.yang
membuatku merasa agak jengkel, dan pada akhirnya berbuntut pemakluman.
Itulah diriku yang duluw, tapi sekarang, merasa diri malah yang
melakukan itu. Sering banget meninggalkan agenda-agenda dakwah. Hanya
alasan kesibukan, dan adaptasi diri sebagai seorang Mahasiswa en pkerja
profesional dengan bejibun aktivitas yang ”itu-itu saja” namun terasa
banyak menyita waktu serta kesibukan mahasiswi pasca yang masya Allah
diluar prediksi saya sibuknya. Serasa pengen bilang“Izinkan aku untuk
cuti dari dakwah ini”, mungkin untuk seminggu, sebulan, setahun atau
bahkan selamanya. Lebih baik aku konsenstrasi dengan studiku yang kini
sedang berantakan, atau dengan impian-impianku yang belum terpenuhi,
atau… dengan lebih memperhatikan ibuku yang sudah semakin ingin ku
berada di rumah, toh tanpa aku pun dakwah tetap berjalan, bukan???
Mencoba menasehati diri sendiri dengan kondisi dan keadaan diri yang
tidak menentu, serta fikiran yang sudah muali banyak memikirkan banyak
hal. Let’s to brainstrom ur mind mel..
Dalam dunia dakwah yang sedang kita geluti seperti sekarang ini, tidak jarang kita mengalami konflik atau permasalahan-
permasalahan. Dari sekian permasalahan tersebut terkadang ada
konflik-konflik yang timbul di kalangan internal aktivis dakwah
sendiri. Pernah suatu ketika dalam aktivitas sebuah barisan dakwah, ada
seorang ikhwan yang mengutarakan sakit hatinya terhadap saudaranya yang
tidak amanah dengan tugas dan tanggungjawab dakwahnya. Di lain waktu di
sebuah lembaga dakwah kampus, seorang akhwat “minta cuti” lantaran
sakit hatinya terhadap akhwat lain yang sering kali dengan seenaknya
berlagak layaknya seorang bos dalam berdakwah.
Pernah
pula suatu waktu seorang kawan bercerita tentang seorang ikhwan yang
terdzalimi oleh saudara-saudaranya sesama aktifis dakwah. Sebuah kisah
nyata yang tak pantas untuk terulang namun penuh hikmah untuk
diceritakan agar menjadi pelajaran bagi kita. Ceritanya, di akhir masa
kuliahnya sebut saja si X (ikhwan yang terdzalimi) hanya mampu
menyelesaikan studinya dalam waktu yang terlalu lama, enam tahun.
Sedangkan di lain sisi, teman-temannya sesama (yang katanya) aktifis
dakwah lulus dalam waktu empat tahun. Singkat cerita, ketika si X
ditanya mengapa ia hanya mampu lulus dalam waktu enam tahun sedangkan
teman-temannya lulus dalam waktu empat tahun? Apa yang ia jawab? Ia
menjawab “Aku lulus dalam waktu enam tahun karena aku harus bolos
kuliah untuk mengerjakan tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan
oleh saudara-saudaraku yang lulus dalam waktu empat tahun.”
Subhanallah… di satu sisi kita merasa bangga dengan si X, dengan
militansinya yang tinggi beliau rela untuk bolos dan mengulang mata
kuliah demi terlaksananya roda dakwah agar terus berputar dengan
mengakumulasikan
tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan teman-temannya. Namun di
sisi lain kita pun merasa sedih… sedih dengan kader-kader dakwah
(saudara-saudaranya Si X) yang dengan berbagai macam alasan duniawi
rela meninggalkan tugas-tugas dakwah yang seharusnya mereka kerjakan.
Semester satu kemaren nilai saya mungkin tidak sejajar dengan
teman-teman S2 dari UGM, sebenarnya alasannya karena menyiapkan acara
pernikahan teman yang tergolong mepet waktu perencanaanya, apalagi
penetapan tanggal nya dan semua prosesi dadakannya itu berlangsung pas
sibuknya pekerjaan. Tetapi dikalangan teman-teman S2 va berkembang
rumor, klo aktivis tuh ga terlalu bagus akademiknya, tahu sendiri lah
ya anak-anak S2 tentu semuanya jago dan merupakan putra terbaik pilihan
universitas asal, maupun dosen terbaik dari asal institusinya,
bayangkan saja saya bersejejar dengan mereka. Dan ternyata dari
universitas ataupun institusi asal, anak-anak ROHIS ataupun aktivis
dakwah semuanya ya gitu ga ada yang menonjol secara akademik. Waktu
tahu rumor itu saya agak kaget, saya sadar saya baru saja menambah
catatan baru pandangan bagi mereka, aktvis kalah akademik. Whuah… hal
ini tidak bisa dibiarkan donk..
Semoga kisah dan cerita saya tersebut tidak terulang kembali di masa
mendatang dan masa setelah kita, cukuplah menjadi sebuah pelajaran
berharga…. Semoga kisah tersebut membuat kita sadar, bahwa setiap
aktifitas yang di dalamnya terdapat interaksi antar manusia, termasuk
dakwah, kita tiada akan bisa mengelakkan diri dari komunikasi hati. Ya,
setiap aktifis dakwah adalah manusia-manusia yang memiliki
hati yang tentu saja berbeda-beda. Ada aktifis yang hatinya kuat dengan
berbagai macam tingkah laku aktifis lain yang dihadapkan kepadanya.
Tapi jangan pula kita lupa bahwa tidak sedikit aktifis-aktifis yang
tiada memiliki ketahanan tinggi dalam menghadapi tingkah polah aktifis
dakwah lain yang kadang memang sarat dengan kekecewaan-kekecewa an yang
sering kali berbuah pada timbulnya sakit hati. Dan kesemuanya itu
adalah sebuah kewajaran sekaligus realita yang harus kita pahami dan
kita terima.
Seringkali kita memukul rata perlakuan kita kepada sahabat-sahabat kita
sesama aktifis dakwah, dengan diri kita sebagai parameternya. Begitu
mudahnya kita melontarkan kata-kata “ Antum telah berguguran di jalan
dakwah, atau kata-kata pahit lainnya atas kelalaian-kelalaian yang kita
lakukan, tanpa dibarengi dengan kesadaran bahwa sangat mungkin
kelalaian yang kita lakukan itu ternyata menyakiti hati saudara kita.
Dan bahkan sebagai pembenaran kita tambahkan alasan bahwa kita hanyalah
manusia biasa yang juga dapat melakukan kekeliruan. Memang benar
bahwasanya aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, bukan malaikat,
sehingga tidak luput dari kelalaian, kesalahan dan lupa. Tapi di saat
yang sama sadarkah kita bahwa kita sedang menghadapi sosok yang juga
manusia biasa? bukan superman, bukan pula malaikat yang bisa menerima
perlakuan seenaknya. Sepertinya adalah sikap yang naif ketika kesadaran
bahwa aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, hanya ditempelkan pada
diri kita sendiri.
Seharusnya
kesadaran bahwa aktifis dakwah adalah manusia biasa itu kita tujukan
juga pada saudara kita sesama aktivis dakwah, bukan cuma kepada kita
sendiri. Dengan begitu kita tidak bisa dengan seenaknya berbuat sesuatu
yang dapat mengecewakan, membuat sakit hati, yang bisa jadi merupakan
sebuah kezhaliman kepada saudara-saudara kita. Mulai sekarang tata diri
pribadi, menyikapi segala sesuatunya dengan bijaksana dan dewasa,
karena hidup cumalah sebentar manfaatkan waktu sebaik mungkin, perbaiki
persepsi manusia tentang sisi minus aktifis dakwah, jadikan sebagai
motivasi, terus berkarya untuk ummat ini, karena tantangan dakwah di
luar sana semakin liar… Sehingga permasalahan internal tidak menjadikan
seorang kader bilang “aku ingin cuti dari dakwah”.
dikutip dr blog Eva Octafiani
semoga lain waktu bisa menulis sendiri... ^_^
Mon Oct 24, 2011 5:09 am by raden galuh agung permana
» update forum 2
Wed Sep 14, 2011 10:00 am by Admin
» Resep Kue Pernikahan
Sat Jun 04, 2011 12:42 pm by aisyah salimah
» Hidup Tak Kenal Kompromi
Sat Jun 04, 2011 11:54 am by aisyah salimah
» Rumah Dunia VS Akhirat
Sun May 22, 2011 11:59 pm by aisyah salimah
» Selamat Jalan Ibunda Tercinta
Sat May 21, 2011 3:48 pm by aisyah salimah
» Cara Youtube tanpa buffer tanpa software
Tue May 10, 2011 8:16 pm by kholis
» tok tok tok...!
Mon May 09, 2011 7:43 pm by santii
» catatan da'wah
Sat May 07, 2011 10:08 pm by nadiachya