TAK ADA IKHWAH YANG TAK RETAK
”Era fitnah itu berlangsung sudah. Sahabat membantai sahabat lainnya. Khalifah Umar, Utsman dan Ali dibunuh. Perang Jamal yang berkecamuk melibatkan puluhan bahkan ratusan ribu tentara Muslim meninggalkan kerugian yang tidak terkira, ratusan “Al Qur’an berjalan” musnah dari muka bumi. Peristiwa demi peristiwa seperti itu terus berlangsung hingga kini.”
Salah siapakah ini? Apa yang salah dari ajaran kita?
Tentu bukan Rasulullah atau risalah ini yang salah. Jelas!
bukan ajaran sempurna dari baginda Muhammad SAW yang menyebabkan itu. Tetapi person yang inkonsistensi terhadap ajarannyalah penyebabnya. Dan inilah yang bisa kita ambil hikmahnya hari ini. Manusia dengan kelebihan akalnya tetaplah makhluk yang tidak sempurna.
Fenomena merasa lebih benar, lebih tahu, lebih baik dan serba lebih lainnya selalu menyelinap di benak manusia.
Kehancuran kekhalifahan Kordoba yang secara resmi berakhir pada 1031 M lebih banyak diakibatkan karena merasa superior. Suatu kebudayaan yang belum lama sebelumnya masih memuncaki kejayaannya mulai mengalami kemerosotan. Bukan karena ancaman eksternal, tetapi pemicunya lebih kepada masalah internal dalam pemerintahan Islam saat itu. Kekayaan yang berlimpah-ruah, arsitektur budaya yang hebat, kultur masyarakat yang rapi dan bersih menanamkan bibit-bibit congkak. Perasaaan ini berujung pada kesombongan, merasa paling hebat, besar dan kuat. Fitnah dan perebutan kekuasaan antara umat Islam pun terjadi Sehingga perlahan tapi pasti musuh pun dengan mudah menghancur leburkan warisan Islam paling fenomenal di saentero Eropa.
Saat ini kita disuguhi lagi fenomena seperti itu. Setiap orang ingin memperingatkan dan mengajak kepada kebangkitan. Macam-macam caranya. Ada yang dengan amal nyata memulai perbaikan tersebut bertingkat, mulai dari diri sendiri, keluarga masyarakat dan seterusnya. Ada yang masih dalam tataran konsep dan hendak diimplementasikan. Ada yang sudah berlari, ada pula yang berjalan. Ada yang berjalan, ada pula yang merangkak.
Sayangnya, kita selalu berorientasi ke orang lain. Menuntut orang lain baik, padahal kita sendiri masih keteteran untuk menjadi sosok ideal.
Lebih mending orang yang suka menuntun dan menuntut. Menuntun orang untuk bertindak yang benar dan pada tempat yang benar. Menuntut bila prinsip-prinsip itu dilanggar. Menuntun paling efektif dengan teladan nyata. Ustadz Rahmat Abdullah ketika menyebut orientasi amal mengingatkan pada suatu qaedah : ”Setiap ucapan yang tak menghasilkan amal, maka menyibukkan diri di dalamnya sama dengan menggeluti kerja terlarang dalam syara” (Kullu kalamin la yanbani alaihi amal, falkhaudhu fihi khaudhun fima nuhina anhu syar’an).
Menahan Diri dari Mencela Orang Lain
Rabi’ bin Hutsaim, seorang tabi’in yang terkenal dengan sikapnya dalam mensucikan jiwa mengatakan, ”Seandainya manusia itu tahu tentang aibnya sendiri niscaya tidak ada orang yang mau mencela aib orang lain.”
Suatu ketika, ia pernah ditanya seorang sahabat, ”Wahai Abu Yazid -panggilan Rabi’- mengapa engkau tidak pernah mencela orang lain? Ia menjawab, ”Demi Allah, jiwaku saja belum tentu diridhai Allah, lalu untuk apa aku mencela orang lain?
Sesungguhnya banyak manusia yang takut kepada Allah setelah melihat dosa-dosa yang dilakukan orang lain. Tetapi sayangnya mereka tidak merasakan hal itu saat melihat dosa-dosa yang dilakukannya sendiri.” (Tabaqat Ibnu Sa’ad,
6/168)
Seorang teman pernah berkata bahwa kesempurnaan manusia terletak pada ketidaksempurnaannya. Saya sendiri agak susah menterjemahkanya (maklum, belum ahli filsafat teologis). Yang pasti tidak hanya gading saja yang retak, manusiapun bisa (dan jelas) ’retak’.
Potret Tarbiyah Kita
Eko Novianto dalam bukunya ”Sudahkah Kita Tarbiyah?” melukiskan sebuah fenomena ikhwah dengan indah. Ia menyebutkan bahwa dalam realitas yang selalu ’retak’ aktivitas mencermati, mengkritisi, dan mengoreksi adalah aktivitas yang sehat dan sangat diperlukan dakwah ini. Aktivitas inilah yang layak kita jadikan modal untuk menghindarkan kita dari sikap establish.
Di tengah perbedaan, sangat timbul berbagai pertanyaan. Seorang kader yang disiplin potensial akan mempertanyakan kader yang sering
terlambat. Ikhwan dan akhwat yang mempunyai segudang aktivitas akan potensial ’memprotes’ saudaranya yang dianggapnya masih memiliki banyak waktu luang. Seorang yang teliti dalam menjaga kehalalan rezekinya akan terlihat rewel di mata kader yang tidak seteliti dia. Seorang yang menyukai mukhoyyam, rihlah, riyadah, atau demo bisa saja mengkritisi ikhwahnya yang cenderung ’ngruhi’ atau ’ngustadz’. Seorang yang terlatih dalam seminar, lokakarya, atau diskusi cenderung ’memprovokasi’ kader yang lain untuk berlatih diskusi. Seorang yang suka menulis dan tertib dalam catatan akan mendorong saudaranya untuk juga menulis dan tertib administrasi. Seorang kader potensial mempertanyakan sekian banyak hal dari kader yang lain, karena beberapa perbedaan di antara keduanya.
Maka, ini adalah realitas kita. Seorang ikhwan sangat disiplin ketika liqo’, meski ia bukan ’pemenang’ dalam berhubungan baik dengan tetangganya. Seseorang menonjol dalam ’prestasi’ dakwahnya meski ia mungkin bukan sosok yang baik bagi keluarganya. Seorang kader menonjol dalam ma’isyahnya di tengah kelemahannya dalam mengisi liqo’, ta’lim atau halaqoh. Seorang kader dinilai sebagai pakar keluarga meski ia dinilai mengabaikan tugas-tugas
jama’inya. Seorang ikhwan dan akhwat menonjol di bidang akademiknya bersamaan
dengan lemahnya interaksi dengan saudaranya. Seorang dihormati istri dan disayang anaknya, walaupun beberapa mutarobbinya ingin berpindah darinya. Junior merasa idealis dan tidak mau dicampuri seniornya meski sebetulnya tidak mampu mandiri. Seorang akhwat dan ikhwan ahli dalam merencana dan memproyeksikan, tapi kerap mengecewakan dalam implementasinya. Atau sebaliknya, mungkin saja ada
keluarga kader yang rumahnya terawat rapi dan bersih, dan sebersih itu pula jumlah binaannya (alias tidak memiliki binaan). Seorang ummahat bisa saja
menyebabkan anak-anaknya kerasan, sementara tidak demikian dengan mutarobbiyahnya. Seorang kader ’berapi-api’ dalam membahas politik global dan isu kontemporer setelah beberapa saat yang lalu berkeringat karena harus setor hafalan. Ada yang lebih eksplosif meski tidak konsisten, ada yang lebih
konsisten meski adem ayem saja (kalem), serta banyak variasi lainnya.
Wallahu
‘alam bishowab
(copas milis fajrul_islam)
”Era fitnah itu berlangsung sudah. Sahabat membantai sahabat lainnya. Khalifah Umar, Utsman dan Ali dibunuh. Perang Jamal yang berkecamuk melibatkan puluhan bahkan ratusan ribu tentara Muslim meninggalkan kerugian yang tidak terkira, ratusan “Al Qur’an berjalan” musnah dari muka bumi. Peristiwa demi peristiwa seperti itu terus berlangsung hingga kini.”
Salah siapakah ini? Apa yang salah dari ajaran kita?
Tentu bukan Rasulullah atau risalah ini yang salah. Jelas!
bukan ajaran sempurna dari baginda Muhammad SAW yang menyebabkan itu. Tetapi person yang inkonsistensi terhadap ajarannyalah penyebabnya. Dan inilah yang bisa kita ambil hikmahnya hari ini. Manusia dengan kelebihan akalnya tetaplah makhluk yang tidak sempurna.
Fenomena merasa lebih benar, lebih tahu, lebih baik dan serba lebih lainnya selalu menyelinap di benak manusia.
Kehancuran kekhalifahan Kordoba yang secara resmi berakhir pada 1031 M lebih banyak diakibatkan karena merasa superior. Suatu kebudayaan yang belum lama sebelumnya masih memuncaki kejayaannya mulai mengalami kemerosotan. Bukan karena ancaman eksternal, tetapi pemicunya lebih kepada masalah internal dalam pemerintahan Islam saat itu. Kekayaan yang berlimpah-ruah, arsitektur budaya yang hebat, kultur masyarakat yang rapi dan bersih menanamkan bibit-bibit congkak. Perasaaan ini berujung pada kesombongan, merasa paling hebat, besar dan kuat. Fitnah dan perebutan kekuasaan antara umat Islam pun terjadi Sehingga perlahan tapi pasti musuh pun dengan mudah menghancur leburkan warisan Islam paling fenomenal di saentero Eropa.
Saat ini kita disuguhi lagi fenomena seperti itu. Setiap orang ingin memperingatkan dan mengajak kepada kebangkitan. Macam-macam caranya. Ada yang dengan amal nyata memulai perbaikan tersebut bertingkat, mulai dari diri sendiri, keluarga masyarakat dan seterusnya. Ada yang masih dalam tataran konsep dan hendak diimplementasikan. Ada yang sudah berlari, ada pula yang berjalan. Ada yang berjalan, ada pula yang merangkak.
Sayangnya, kita selalu berorientasi ke orang lain. Menuntut orang lain baik, padahal kita sendiri masih keteteran untuk menjadi sosok ideal.
Lebih mending orang yang suka menuntun dan menuntut. Menuntun orang untuk bertindak yang benar dan pada tempat yang benar. Menuntut bila prinsip-prinsip itu dilanggar. Menuntun paling efektif dengan teladan nyata. Ustadz Rahmat Abdullah ketika menyebut orientasi amal mengingatkan pada suatu qaedah : ”Setiap ucapan yang tak menghasilkan amal, maka menyibukkan diri di dalamnya sama dengan menggeluti kerja terlarang dalam syara” (Kullu kalamin la yanbani alaihi amal, falkhaudhu fihi khaudhun fima nuhina anhu syar’an).
Menahan Diri dari Mencela Orang Lain
Rabi’ bin Hutsaim, seorang tabi’in yang terkenal dengan sikapnya dalam mensucikan jiwa mengatakan, ”Seandainya manusia itu tahu tentang aibnya sendiri niscaya tidak ada orang yang mau mencela aib orang lain.”
Suatu ketika, ia pernah ditanya seorang sahabat, ”Wahai Abu Yazid -panggilan Rabi’- mengapa engkau tidak pernah mencela orang lain? Ia menjawab, ”Demi Allah, jiwaku saja belum tentu diridhai Allah, lalu untuk apa aku mencela orang lain?
Sesungguhnya banyak manusia yang takut kepada Allah setelah melihat dosa-dosa yang dilakukan orang lain. Tetapi sayangnya mereka tidak merasakan hal itu saat melihat dosa-dosa yang dilakukannya sendiri.” (Tabaqat Ibnu Sa’ad,
6/168)
Seorang teman pernah berkata bahwa kesempurnaan manusia terletak pada ketidaksempurnaannya. Saya sendiri agak susah menterjemahkanya (maklum, belum ahli filsafat teologis). Yang pasti tidak hanya gading saja yang retak, manusiapun bisa (dan jelas) ’retak’.
Potret Tarbiyah Kita
Eko Novianto dalam bukunya ”Sudahkah Kita Tarbiyah?” melukiskan sebuah fenomena ikhwah dengan indah. Ia menyebutkan bahwa dalam realitas yang selalu ’retak’ aktivitas mencermati, mengkritisi, dan mengoreksi adalah aktivitas yang sehat dan sangat diperlukan dakwah ini. Aktivitas inilah yang layak kita jadikan modal untuk menghindarkan kita dari sikap establish.
Di tengah perbedaan, sangat timbul berbagai pertanyaan. Seorang kader yang disiplin potensial akan mempertanyakan kader yang sering
terlambat. Ikhwan dan akhwat yang mempunyai segudang aktivitas akan potensial ’memprotes’ saudaranya yang dianggapnya masih memiliki banyak waktu luang. Seorang yang teliti dalam menjaga kehalalan rezekinya akan terlihat rewel di mata kader yang tidak seteliti dia. Seorang yang menyukai mukhoyyam, rihlah, riyadah, atau demo bisa saja mengkritisi ikhwahnya yang cenderung ’ngruhi’ atau ’ngustadz’. Seorang yang terlatih dalam seminar, lokakarya, atau diskusi cenderung ’memprovokasi’ kader yang lain untuk berlatih diskusi. Seorang yang suka menulis dan tertib dalam catatan akan mendorong saudaranya untuk juga menulis dan tertib administrasi. Seorang kader potensial mempertanyakan sekian banyak hal dari kader yang lain, karena beberapa perbedaan di antara keduanya.
Maka, ini adalah realitas kita. Seorang ikhwan sangat disiplin ketika liqo’, meski ia bukan ’pemenang’ dalam berhubungan baik dengan tetangganya. Seseorang menonjol dalam ’prestasi’ dakwahnya meski ia mungkin bukan sosok yang baik bagi keluarganya. Seorang kader menonjol dalam ma’isyahnya di tengah kelemahannya dalam mengisi liqo’, ta’lim atau halaqoh. Seorang kader dinilai sebagai pakar keluarga meski ia dinilai mengabaikan tugas-tugas
jama’inya. Seorang ikhwan dan akhwat menonjol di bidang akademiknya bersamaan
dengan lemahnya interaksi dengan saudaranya. Seorang dihormati istri dan disayang anaknya, walaupun beberapa mutarobbinya ingin berpindah darinya. Junior merasa idealis dan tidak mau dicampuri seniornya meski sebetulnya tidak mampu mandiri. Seorang akhwat dan ikhwan ahli dalam merencana dan memproyeksikan, tapi kerap mengecewakan dalam implementasinya. Atau sebaliknya, mungkin saja ada
keluarga kader yang rumahnya terawat rapi dan bersih, dan sebersih itu pula jumlah binaannya (alias tidak memiliki binaan). Seorang ummahat bisa saja
menyebabkan anak-anaknya kerasan, sementara tidak demikian dengan mutarobbiyahnya. Seorang kader ’berapi-api’ dalam membahas politik global dan isu kontemporer setelah beberapa saat yang lalu berkeringat karena harus setor hafalan. Ada yang lebih eksplosif meski tidak konsisten, ada yang lebih
konsisten meski adem ayem saja (kalem), serta banyak variasi lainnya.
Wallahu
‘alam bishowab
(copas milis fajrul_islam)
Mon Oct 24, 2011 5:09 am by raden galuh agung permana
» update forum 2
Wed Sep 14, 2011 10:00 am by Admin
» Resep Kue Pernikahan
Sat Jun 04, 2011 12:42 pm by aisyah salimah
» Hidup Tak Kenal Kompromi
Sat Jun 04, 2011 11:54 am by aisyah salimah
» Rumah Dunia VS Akhirat
Sun May 22, 2011 11:59 pm by aisyah salimah
» Selamat Jalan Ibunda Tercinta
Sat May 21, 2011 3:48 pm by aisyah salimah
» Cara Youtube tanpa buffer tanpa software
Tue May 10, 2011 8:16 pm by kholis
» tok tok tok...!
Mon May 09, 2011 7:43 pm by santii
» catatan da'wah
Sat May 07, 2011 10:08 pm by nadiachya