pemilu di iran dan beberapa pemberitaan yang ana dengar tentangnya, dari beberapa media aneh yang membuat terus berpikir...... membuat ana mencari-cari fakta di balik layar.. sebenernya ada apa dengan IRan akhrinya ana dapat sedikit pencerahana akan hal ini,
Mengapa Ahmadinejad Menang ?
Jakarta
(ANTARA News) - Elite demokrasi maju dan terutama pakar serta media
Barat, acap mengesampingkan nilai-nilai lokal demi kelompok yang
diidentifikasi tengah membawa nilai-nilai yang diyakininya sebagai
resultante dari prinsip yang berlaku global.
Taruhlah resultante itu pandangan liberal atau imitasi gaya hidup global yang mendahului keperluan memperkuat fondasi lokal.
Pemilu
Iran yang dimenangkan pemimpin garis keras Mahmoud Ahmadinejad
mengajarkan hal itu, disamping menjadi satu materi kuliah penting bagi
demokrasi berkembang manapun di dunia, termasuk Indonesia.
Pemilu
Iran mengajarkan, jangan pernah mengabaikan realitas lokal hanya karena
menganggap nilai lokal telah tersisih oleh modernitas. Penyangkalan
lokal itu misalnya tercermin dari prilaku liberal kaum perkotaan dan
penepisan simbol atau atribut sosial yang melekat lama dalam masyarakat
karena dianggap kuno atau puritan.
Tulisan Abbas Barzegar
--seorang akademisi AS keturunan Iran dalam Guardian (13/6)-- ini
diantaranya mengungkapkan penyangkalan lokal itu yang berujung pada
kekalahan kubu yang acap diatributi pers Barat sebagai kaum reformis.
Berikut sadurannya ;
Saya
berada di Iran, tepatnya seminggu, guna mengikuti pesta demokrasi pada
Pemilu Iran 2009. Semenjak saya tiba di sana, sedikit orang di negeri
ini yang ragu bahwa calon incumbent Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang
provokatif ini bakal memenangkan Pemilu.
Sopir taksi yang
menyertai saya mengingatkan bahwa Si Presiden telah mengunjungi semua
provinsi di Irak dua kali dalam empat tahun terakhir ini. "Iran itu
bukan (hanya) Teheran," katanya.
Ketika saya menanyai para
pendukung (Mir Hossein) Mousavi, apakah tokoh usungan mereka itu
benar-benar akan meraih dukungan tidak hanya di ibukota (Teheran),
mereka mengutarakan jawaban-jawaban optimistis gaya Obama seperti, "Ya,
kita bisa," "Saya kira begitu," "Jika anda memilih."
Pertanyaan
yang menghantui media internasional bahwa "Bagaimana bisa seorang
Mousavi kalah?" tampak tak begitu menjadi urusan Komisi Pemilihan Umum
Iran dan itu tidak lebih dari persepsi keliru selama ini yang menolak
memahami peran agama di Iran.
Tentu saja, kemungkinan pemilu
curang tetap ada dan orang mesti menunggu sampai pekan-pekan mendatang
untuk melihat bagaimana tuduhan itu dapat dibuktikan.
Tetapi
orang semestinya ingat bahwa dalam tiga dekade Pemilu Presiden, tuduhan
kecurangan jarang sekali dialamatkan ke penghitungan suara. Pemilu di
sini secara khusus dikendalikan dengan cara membatasi gerak-gerik
kandidat atau menutup media massa kelompok oposisi.
Tambahan
lagi, dalam pemilu kali ini, ada dua badan pengawas pemilu bentukkan
pemerintah yang terpisah yang memungkinkan saksi semua kubu bisa
mencegah terjadinya kecurangan massal dalam pemilu.
Kesangsian
atas kemenangan Ahmadinejad yang dituduh pendukung Mousavi sebagai
bukti adanya kecurangan oleh negara, seyogyanya selaras dengan
ketidakpercayaan sama terhadap merajalelanya korupsi yang berlangsung
terang-terangan.
Jadi, sampai ada bukti meyakinkan yang bisa
membenarkan tuduhan-tuduhan oposisi, maka kita perlu melihat alasan
lain yang menjelaskan bagaimana begitu banyak orang tersihir oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi seharian itu.
Sejauh yang diperhatikan media internasional, tampaknya hanya wangsit yang layak diberitakan dibalik kemenangan itu.
Memang
benar bahwa para pendukung Mousavi telah membuat jalanan kota Teheran
macet selama berjam-jam setiap malam sepanjang pekan lalu, padahal itu
hanya terjadi di bagian utara ibukota yang terkenal lebih makmur. Para
wanita menanggalkan hijabnya dan anak-anak muda berjingkrak di jalanan.
Senin
malam lalu setidaknya 100.000 pendukung sang mantan perdana menteri
(Mousavi) membuat rantai manusia di sepanjang kota Teheran.
Namun
beberapa jam sebelumnya, saya juga menghadiri parade massal pendukung
sang incumbent yang kurang diperhatikan pers Barat. Jumlah mereka luar
biasa banyak, bahkan tidak pernah terjadi sebelum ini.
Perkiraan
minimal jumlah massa yang mengikuti pidato kampanye Ahmadinejad saat
itu adalah 600.000 orang (bahkan banyak yang yakin mencapai satu juta
orang).
Dari loteng gedung, saya menyaksikan para wanita
berjilbab dan pria-pria berjanggut, dari segala umur, berduyun-duyun
berkerumun bagai aliran lava gunung berapi.
Keliru
Kekeliruan
dalam menaksir secara tepat hal-hal yang berkaitan dengan Iran, bukan
sekali ini terjadi. Ketika revolusi Islam 1979 berhasil menghancurkan
kediktaturan militer negeri itu yang merupakan sekutu terkuat Amerika
di Timur Tengah, hanya sedikit pakar di luar Iran yang memperkirakan
bahwa kaum revolusioner Islam akan tumbuh menjadi satu kekuatan utama
di Iran.
Tapi di Iran sendiri, cendekiawan sekuler seperti
Jalal-e-Ahmad, pengarang buku "Occidentosis" yang terkenal itu pun
telah memperkirakan rejim (Shah Iran) bakal tumbang di tangan gerakan
revolusi Islam, satu dekade sebelum takdir tahun 1979 itu terjadi.
Filsuf
Prancis pemberontak, Michel Foucault, juga secara meyakinkan telah
meramalkan peristiwa itu, karena dia merekamnya dari dekat, dalam jarak
yang para pengagumnya pun enggan melakukannya.
Sejak revolusi
Islam Iran, para akademisi, intelektual dan para ahli telah meramalkan
bakal runtuh cepatnya rejim (Islam Iran). Sampai sekarang ramalan
mereka itu tak berbukti.
Anomali-anomali seperti itu hanya bisa dijelaskan oleh sejarah. Iran adalah masyarakat yang sangat relijius.
Nepotisme,
otokrasi dan penindasan Shah Iran yang berdekade-dekade diperangi kaum
komunis dan liberal gagal diakhiri, tetapi adalah serangan Shah
terhadap kemapanan kalangan relijiuslah yang mengantarkan kejatuhan
Shah yang terjadi nyaris hanya dalam semalam.
Sejak itu rakyat Iran menyalurkan impian-impiannya melalui kotak suara.
Pada
1997 setelah asap perang Iran-Irak berhenti dan negara itu melewati
satu dekade masa stabil, para pemilih berbondong-bondong memberi
dukungan pada ulama yang mantan presiden --Mohammad Khatami-- dalam
menghadapi lawannya Natiq Nouri, anggota senior parlemen Iran.
Para
wartawan Barat menyebut momen itu sebagai satu generasi yang terbelah;
yaitu kaum muda liberal pecinta kebebasan melawan ulama-ulama tua
konservatif.
Tetapi pemilu saat itu sesungguhnya adalah pemilu
untuk memilih kejujuran dan kesalehan (Khatami), melawan kekuatan yang
dituduh korup.
Dan kini orang-orang sama yang dulu mendukung
Khatami, menyalurkan suaranya untuk Ahmadinejad kemarin, padahal wajah
Khatami menghiasai poster-poster kampanye kubu Mousavi.
Selama
hampir seminggu dorongan sosial anti korupsi, kerakyatan dan kesalehan
relijius yang dulu melahirkan revolusi Islam tampak kembali di jalanan
untuk dipungut lagi oleh rakyat Iran. Untuk sebagian besar rakyat
negeri itu, Ahmadinejad adalah perwujudan dorongan-dorongan impian
(tentang pemimpin anti korupsi, merakyat dan saleh) ini.
Sejak
pertamakali masuk ke kantornya, Ahmadinejad menolak mengenakan jas
mahal, menolak meninggalkan rumah yang diwarisinya dari sang ayah, dan
menolak mengendurkan retorika yang digunakannya untuk melawan mereka
yang dituduhnya pengkhianat bangsa.
Manakala secara terbuka dia
menuduh mantan pesaingnya yang tanggal dari kekuasaanya, Ayatullah Ali
Akbar Hashemi Rafsanji, sebagai singa terhadap revolusi, koruptur
parasit dan membandingkan pengkhianatan Rafsanjani dengan pengkhianatan
terhadap Nabi Muhammad SAW yang menyebabkan syiah dan suni bermusuhan
selama 1.400 tahun, dia menawarkan rakyat satu tarikan (moral) yang
beberapa generasi lamanya dimimpikan rakyat.
Ketika Rafsanjani membela diri melalui suratkabar pro-Mousavi, maka tamatlah riwayat kaum reformis.
Jujur
Minggu
lalu Ahmadinejad bagai mengubah pemilu menjadi referendum untuk
menentukan bagaimana sikap bangsa Iran terhadap prinsip asasi revolusi
Islam.
Slogan jalanan mereka berbunyi, "Matilah semua orang yang
melawan Imam Tertinggi" yang kemudian diikuti ritual dan pepujian
relijius khas syiah.
Slogan itu bukan tandingan semboyan ceria
penuh semangat dari kaum muda Teheran utara, yang menyanyikan
"Ahmedi-bye-bye, Ahmedi-bye-bye" atau "ye hafte-do hafte, Mahmud hamum
na-rafte" (Seminggu, dua minggu, Mahmoud tidak mandi).
Mungkin
sejak awal Mousavi memang ditakdirkan akan gagal, begitu dia berharap
bisa menggabungkan energi terang antara kelas sosial atas yang liberal
dengan kepentingan bisnis pedagang pasar.
Kampanye lewat
Facebook dan via sms pun tidak relevan dengan kaum pedesaan dan
kelompok pekerja yang setiap hari berjuang memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari mereka, banyak sekali yang tidak mempunyai waktu untuk
sekedar pergi ke cafe internet guna mengecek blog mereka.
Kendati
Mousavi berupaya menarik kelas pemilih seperti ini, dengan cara
mengupas masalah seputar inflasi dan kemiskinan, mereka malah memilih
lawan Mousavi.
Oleh karena itu, di masa mendatang, para pengamat
(Barat) mesti mempelajari lebih dalam lagi masyarakat Iran sehingga
diperoleh gambaran lebih dalam mengenai struktur negara ini yang sangat
relijius organik, untuk kemudian disampaikan dalam narasi keniscayaan
liberal.
Adalah aspek-aspek relijius unik Persia yang
mengantarkan seorang sufi terusir berusia 80 tahun menjadi kepala
negara 30 tahun lalu (Ayatullah Ruhallah Khomeini), kemudian ulama
kharismatis Khatami 12 tahun silam, seorang putra pandai besi yang
jujur --Ahmadinejad-- empat tahun lalu, dan hal sama terjadi kemarin
(Jumat 12/6). (*)
- Abbas Barzegar adalah kandidat PhD untuk studi keagamaan pada Universitas Emory, Atlanta, Georgia
- Disadur ke dalam Bahasa Indonesia oleh Jafar M. Sidik
ada 3 halaman dengan sudut pandang yg berbeda-beda (ini msh sebag.)
Lebih Lengkapnya.. ini Linknya PEMILU IRAN
Mengapa Ahmadinejad Menang ?
Jakarta
(ANTARA News) - Elite demokrasi maju dan terutama pakar serta media
Barat, acap mengesampingkan nilai-nilai lokal demi kelompok yang
diidentifikasi tengah membawa nilai-nilai yang diyakininya sebagai
resultante dari prinsip yang berlaku global.
Taruhlah resultante itu pandangan liberal atau imitasi gaya hidup global yang mendahului keperluan memperkuat fondasi lokal.
Pemilu
Iran yang dimenangkan pemimpin garis keras Mahmoud Ahmadinejad
mengajarkan hal itu, disamping menjadi satu materi kuliah penting bagi
demokrasi berkembang manapun di dunia, termasuk Indonesia.
Pemilu
Iran mengajarkan, jangan pernah mengabaikan realitas lokal hanya karena
menganggap nilai lokal telah tersisih oleh modernitas. Penyangkalan
lokal itu misalnya tercermin dari prilaku liberal kaum perkotaan dan
penepisan simbol atau atribut sosial yang melekat lama dalam masyarakat
karena dianggap kuno atau puritan.
Tulisan Abbas Barzegar
--seorang akademisi AS keturunan Iran dalam Guardian (13/6)-- ini
diantaranya mengungkapkan penyangkalan lokal itu yang berujung pada
kekalahan kubu yang acap diatributi pers Barat sebagai kaum reformis.
Berikut sadurannya ;
Saya
berada di Iran, tepatnya seminggu, guna mengikuti pesta demokrasi pada
Pemilu Iran 2009. Semenjak saya tiba di sana, sedikit orang di negeri
ini yang ragu bahwa calon incumbent Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang
provokatif ini bakal memenangkan Pemilu.
Sopir taksi yang
menyertai saya mengingatkan bahwa Si Presiden telah mengunjungi semua
provinsi di Irak dua kali dalam empat tahun terakhir ini. "Iran itu
bukan (hanya) Teheran," katanya.
Ketika saya menanyai para
pendukung (Mir Hossein) Mousavi, apakah tokoh usungan mereka itu
benar-benar akan meraih dukungan tidak hanya di ibukota (Teheran),
mereka mengutarakan jawaban-jawaban optimistis gaya Obama seperti, "Ya,
kita bisa," "Saya kira begitu," "Jika anda memilih."
Pertanyaan
yang menghantui media internasional bahwa "Bagaimana bisa seorang
Mousavi kalah?" tampak tak begitu menjadi urusan Komisi Pemilihan Umum
Iran dan itu tidak lebih dari persepsi keliru selama ini yang menolak
memahami peran agama di Iran.
Tentu saja, kemungkinan pemilu
curang tetap ada dan orang mesti menunggu sampai pekan-pekan mendatang
untuk melihat bagaimana tuduhan itu dapat dibuktikan.
Tetapi
orang semestinya ingat bahwa dalam tiga dekade Pemilu Presiden, tuduhan
kecurangan jarang sekali dialamatkan ke penghitungan suara. Pemilu di
sini secara khusus dikendalikan dengan cara membatasi gerak-gerik
kandidat atau menutup media massa kelompok oposisi.
Tambahan
lagi, dalam pemilu kali ini, ada dua badan pengawas pemilu bentukkan
pemerintah yang terpisah yang memungkinkan saksi semua kubu bisa
mencegah terjadinya kecurangan massal dalam pemilu.
Kesangsian
atas kemenangan Ahmadinejad yang dituduh pendukung Mousavi sebagai
bukti adanya kecurangan oleh negara, seyogyanya selaras dengan
ketidakpercayaan sama terhadap merajalelanya korupsi yang berlangsung
terang-terangan.
Jadi, sampai ada bukti meyakinkan yang bisa
membenarkan tuduhan-tuduhan oposisi, maka kita perlu melihat alasan
lain yang menjelaskan bagaimana begitu banyak orang tersihir oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi seharian itu.
Sejauh yang diperhatikan media internasional, tampaknya hanya wangsit yang layak diberitakan dibalik kemenangan itu.
Memang
benar bahwa para pendukung Mousavi telah membuat jalanan kota Teheran
macet selama berjam-jam setiap malam sepanjang pekan lalu, padahal itu
hanya terjadi di bagian utara ibukota yang terkenal lebih makmur. Para
wanita menanggalkan hijabnya dan anak-anak muda berjingkrak di jalanan.
Senin
malam lalu setidaknya 100.000 pendukung sang mantan perdana menteri
(Mousavi) membuat rantai manusia di sepanjang kota Teheran.
Namun
beberapa jam sebelumnya, saya juga menghadiri parade massal pendukung
sang incumbent yang kurang diperhatikan pers Barat. Jumlah mereka luar
biasa banyak, bahkan tidak pernah terjadi sebelum ini.
Perkiraan
minimal jumlah massa yang mengikuti pidato kampanye Ahmadinejad saat
itu adalah 600.000 orang (bahkan banyak yang yakin mencapai satu juta
orang).
Dari loteng gedung, saya menyaksikan para wanita
berjilbab dan pria-pria berjanggut, dari segala umur, berduyun-duyun
berkerumun bagai aliran lava gunung berapi.
Keliru
Kekeliruan
dalam menaksir secara tepat hal-hal yang berkaitan dengan Iran, bukan
sekali ini terjadi. Ketika revolusi Islam 1979 berhasil menghancurkan
kediktaturan militer negeri itu yang merupakan sekutu terkuat Amerika
di Timur Tengah, hanya sedikit pakar di luar Iran yang memperkirakan
bahwa kaum revolusioner Islam akan tumbuh menjadi satu kekuatan utama
di Iran.
Tapi di Iran sendiri, cendekiawan sekuler seperti
Jalal-e-Ahmad, pengarang buku "Occidentosis" yang terkenal itu pun
telah memperkirakan rejim (Shah Iran) bakal tumbang di tangan gerakan
revolusi Islam, satu dekade sebelum takdir tahun 1979 itu terjadi.
Filsuf
Prancis pemberontak, Michel Foucault, juga secara meyakinkan telah
meramalkan peristiwa itu, karena dia merekamnya dari dekat, dalam jarak
yang para pengagumnya pun enggan melakukannya.
Sejak revolusi
Islam Iran, para akademisi, intelektual dan para ahli telah meramalkan
bakal runtuh cepatnya rejim (Islam Iran). Sampai sekarang ramalan
mereka itu tak berbukti.
Anomali-anomali seperti itu hanya bisa dijelaskan oleh sejarah. Iran adalah masyarakat yang sangat relijius.
Nepotisme,
otokrasi dan penindasan Shah Iran yang berdekade-dekade diperangi kaum
komunis dan liberal gagal diakhiri, tetapi adalah serangan Shah
terhadap kemapanan kalangan relijiuslah yang mengantarkan kejatuhan
Shah yang terjadi nyaris hanya dalam semalam.
Sejak itu rakyat Iran menyalurkan impian-impiannya melalui kotak suara.
Pada
1997 setelah asap perang Iran-Irak berhenti dan negara itu melewati
satu dekade masa stabil, para pemilih berbondong-bondong memberi
dukungan pada ulama yang mantan presiden --Mohammad Khatami-- dalam
menghadapi lawannya Natiq Nouri, anggota senior parlemen Iran.
Para
wartawan Barat menyebut momen itu sebagai satu generasi yang terbelah;
yaitu kaum muda liberal pecinta kebebasan melawan ulama-ulama tua
konservatif.
Tetapi pemilu saat itu sesungguhnya adalah pemilu
untuk memilih kejujuran dan kesalehan (Khatami), melawan kekuatan yang
dituduh korup.
Dan kini orang-orang sama yang dulu mendukung
Khatami, menyalurkan suaranya untuk Ahmadinejad kemarin, padahal wajah
Khatami menghiasai poster-poster kampanye kubu Mousavi.
Selama
hampir seminggu dorongan sosial anti korupsi, kerakyatan dan kesalehan
relijius yang dulu melahirkan revolusi Islam tampak kembali di jalanan
untuk dipungut lagi oleh rakyat Iran. Untuk sebagian besar rakyat
negeri itu, Ahmadinejad adalah perwujudan dorongan-dorongan impian
(tentang pemimpin anti korupsi, merakyat dan saleh) ini.
Sejak
pertamakali masuk ke kantornya, Ahmadinejad menolak mengenakan jas
mahal, menolak meninggalkan rumah yang diwarisinya dari sang ayah, dan
menolak mengendurkan retorika yang digunakannya untuk melawan mereka
yang dituduhnya pengkhianat bangsa.
Manakala secara terbuka dia
menuduh mantan pesaingnya yang tanggal dari kekuasaanya, Ayatullah Ali
Akbar Hashemi Rafsanji, sebagai singa terhadap revolusi, koruptur
parasit dan membandingkan pengkhianatan Rafsanjani dengan pengkhianatan
terhadap Nabi Muhammad SAW yang menyebabkan syiah dan suni bermusuhan
selama 1.400 tahun, dia menawarkan rakyat satu tarikan (moral) yang
beberapa generasi lamanya dimimpikan rakyat.
Ketika Rafsanjani membela diri melalui suratkabar pro-Mousavi, maka tamatlah riwayat kaum reformis.
Jujur
Minggu
lalu Ahmadinejad bagai mengubah pemilu menjadi referendum untuk
menentukan bagaimana sikap bangsa Iran terhadap prinsip asasi revolusi
Islam.
Slogan jalanan mereka berbunyi, "Matilah semua orang yang
melawan Imam Tertinggi" yang kemudian diikuti ritual dan pepujian
relijius khas syiah.
Slogan itu bukan tandingan semboyan ceria
penuh semangat dari kaum muda Teheran utara, yang menyanyikan
"Ahmedi-bye-bye, Ahmedi-bye-bye" atau "ye hafte-do hafte, Mahmud hamum
na-rafte" (Seminggu, dua minggu, Mahmoud tidak mandi).
Mungkin
sejak awal Mousavi memang ditakdirkan akan gagal, begitu dia berharap
bisa menggabungkan energi terang antara kelas sosial atas yang liberal
dengan kepentingan bisnis pedagang pasar.
Kampanye lewat
Facebook dan via sms pun tidak relevan dengan kaum pedesaan dan
kelompok pekerja yang setiap hari berjuang memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari mereka, banyak sekali yang tidak mempunyai waktu untuk
sekedar pergi ke cafe internet guna mengecek blog mereka.
Kendati
Mousavi berupaya menarik kelas pemilih seperti ini, dengan cara
mengupas masalah seputar inflasi dan kemiskinan, mereka malah memilih
lawan Mousavi.
Oleh karena itu, di masa mendatang, para pengamat
(Barat) mesti mempelajari lebih dalam lagi masyarakat Iran sehingga
diperoleh gambaran lebih dalam mengenai struktur negara ini yang sangat
relijius organik, untuk kemudian disampaikan dalam narasi keniscayaan
liberal.
Adalah aspek-aspek relijius unik Persia yang
mengantarkan seorang sufi terusir berusia 80 tahun menjadi kepala
negara 30 tahun lalu (Ayatullah Ruhallah Khomeini), kemudian ulama
kharismatis Khatami 12 tahun silam, seorang putra pandai besi yang
jujur --Ahmadinejad-- empat tahun lalu, dan hal sama terjadi kemarin
(Jumat 12/6). (*)
- Abbas Barzegar adalah kandidat PhD untuk studi keagamaan pada Universitas Emory, Atlanta, Georgia
- Disadur ke dalam Bahasa Indonesia oleh Jafar M. Sidik
ada 3 halaman dengan sudut pandang yg berbeda-beda (ini msh sebag.)
Lebih Lengkapnya.. ini Linknya PEMILU IRAN
Mon Oct 24, 2011 5:09 am by raden galuh agung permana
» update forum 2
Wed Sep 14, 2011 10:00 am by Admin
» Resep Kue Pernikahan
Sat Jun 04, 2011 12:42 pm by aisyah salimah
» Hidup Tak Kenal Kompromi
Sat Jun 04, 2011 11:54 am by aisyah salimah
» Rumah Dunia VS Akhirat
Sun May 22, 2011 11:59 pm by aisyah salimah
» Selamat Jalan Ibunda Tercinta
Sat May 21, 2011 3:48 pm by aisyah salimah
» Cara Youtube tanpa buffer tanpa software
Tue May 10, 2011 8:16 pm by kholis
» tok tok tok...!
Mon May 09, 2011 7:43 pm by santii
» catatan da'wah
Sat May 07, 2011 10:08 pm by nadiachya