Gerakan pergaulan umat Islam kii kian luas dan beragam. Akibatnya, pergeseran nilai pun terjadi. Baik dalam lingkup pemikiran keagamaan yang tidak dogmatis, maupun sekat-sekat keagamaan yang sebelumnya relatif rapat dan tertutup untuk dikompromikan.
Salah satu buah pergeseran ini adalah keberanian kaum Muslimin atau Muslimat untuk memilih pasangan hidup dari kalangan non Muslim. Padahal, gejala ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang dianut masyarakat Islam.
Ironisnya, pernikahan beda agama justru banyak terjadi dikalangan Muslim intelek, yang memiliki pengetahuan keislamana lebih mapan dari rata-rata kebanyakan orang. Mereka beralasan, pelanggaran nikah beda agama adalah pelanggaran hak asasi manusia. Meski ada juga sebagai pelaku berasal dari kalangan Muslimin yag hidup di lingkungan keluarga sekuler, atau kurang intensif membangun iklim keberagamaan secara utuh.
Keyakinan bahwa Islam membolehkan pria Muslim menikahi wanita non Muslim, merupakan asumsi yang disandarkan pad afirman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah ayat 5, yang membolehkan pria Muslim menikahi wanita dari kalangan ahlul-kitab. Pemahaman yang berkembang kemudian, siapapun yang percaya kepada Tuhan dan mempunyai kitab suvi sebagai pegangan dalam beragama, maka mereka termsuk kategori ahlul-kitab.
Selain surah al-Ma’idah ayat 5, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Jarir, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “kita boleh kawin dengan peprempuan-perempuan ahlul-kitab, tetapi mereka tidak boleh mengawini peprempuan-perempuan kita.” Sekilas dapat disimpulkan, seorang Muslimah tidak boleh dinikahi oleh pria non Muslim, dan pria Muslim tak Boleh menikahi wanita musyrik/kafir, tetapi boleh menikahi wanita ahlul-kitab.
Kiranya, cukup dengan sabda hadis dari Ibnu Jarir tersebut, untuk menyimpulkan haramnya wanita Muslimah dinikahi pria non Muslim. Secara logis, larangan tersebut seharusnya bisa diterima . karena, jika deorang pria non Muslim menikahi wanita Muslimah, dengan posisinya sebagai kepala keluarga, memungkinkan pria non Muslim itu memaksa istri dan anaknya mengikutio akidah yang bukan Islam.
Selain itu, harus dipertimbangkan lagifaktor konsekuensi praktik di lingkungan rumah tangga. Ada kekhawatiran, jika pria Muslim menikahi wanita non Muslim, maka anak-anaknya kelak akan murtad. Sebab, dalam keseharian, seorang ibu biasanya lebih dekat kepada anak-anaknya sehingga ia akan lebih mudah mempengaruhi dan diikuti anak-anaknya. Jiak terjadi, suami yang Muslim berarti telah gagal menjaga keluarganya dari ancaman api neraka.
Akhirnya untuk menyikapi banyaknya mudharat yang akan menimpa pria Muslim akibat pernikahan beda agama, alangkah baiknya kita letakan perkara tersebut sebagai sebuah perkara syubhat yang meragukan, dan sebaiknya dihindari.
Harus diperlihatkan, agama-agama selain Islam yang ada saat ini, cenderung telah mengalami penyimpangan teologis yang sangat mendasar. Sehingga label ahlul-kitabĀ¬, nampaknya cukup jauh dari kenyataan empiris.
Juga, penolakan atas perkawinan beda agama, bukanlah merupakan tindakan diskriminatif terhadap agama, atau pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana kerap disinyalir kalangan sekuler. Tapi upaya itu justru merupakan hak mendasar bagi sebuah agama dalam mengatur umatnya untuk mencapai tatanan hidup yang ideal.
Sumber : majalah Gontor edisi11 tahunVI
Oleh : Asisf Trisnani Lc MA
Salah satu buah pergeseran ini adalah keberanian kaum Muslimin atau Muslimat untuk memilih pasangan hidup dari kalangan non Muslim. Padahal, gejala ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang dianut masyarakat Islam.
Ironisnya, pernikahan beda agama justru banyak terjadi dikalangan Muslim intelek, yang memiliki pengetahuan keislamana lebih mapan dari rata-rata kebanyakan orang. Mereka beralasan, pelanggaran nikah beda agama adalah pelanggaran hak asasi manusia. Meski ada juga sebagai pelaku berasal dari kalangan Muslimin yag hidup di lingkungan keluarga sekuler, atau kurang intensif membangun iklim keberagamaan secara utuh.
Keyakinan bahwa Islam membolehkan pria Muslim menikahi wanita non Muslim, merupakan asumsi yang disandarkan pad afirman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah ayat 5, yang membolehkan pria Muslim menikahi wanita dari kalangan ahlul-kitab. Pemahaman yang berkembang kemudian, siapapun yang percaya kepada Tuhan dan mempunyai kitab suvi sebagai pegangan dalam beragama, maka mereka termsuk kategori ahlul-kitab.
Selain surah al-Ma’idah ayat 5, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Jarir, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “kita boleh kawin dengan peprempuan-perempuan ahlul-kitab, tetapi mereka tidak boleh mengawini peprempuan-perempuan kita.” Sekilas dapat disimpulkan, seorang Muslimah tidak boleh dinikahi oleh pria non Muslim, dan pria Muslim tak Boleh menikahi wanita musyrik/kafir, tetapi boleh menikahi wanita ahlul-kitab.
Kiranya, cukup dengan sabda hadis dari Ibnu Jarir tersebut, untuk menyimpulkan haramnya wanita Muslimah dinikahi pria non Muslim. Secara logis, larangan tersebut seharusnya bisa diterima . karena, jika deorang pria non Muslim menikahi wanita Muslimah, dengan posisinya sebagai kepala keluarga, memungkinkan pria non Muslim itu memaksa istri dan anaknya mengikutio akidah yang bukan Islam.
Selain itu, harus dipertimbangkan lagifaktor konsekuensi praktik di lingkungan rumah tangga. Ada kekhawatiran, jika pria Muslim menikahi wanita non Muslim, maka anak-anaknya kelak akan murtad. Sebab, dalam keseharian, seorang ibu biasanya lebih dekat kepada anak-anaknya sehingga ia akan lebih mudah mempengaruhi dan diikuti anak-anaknya. Jiak terjadi, suami yang Muslim berarti telah gagal menjaga keluarganya dari ancaman api neraka.
Akhirnya untuk menyikapi banyaknya mudharat yang akan menimpa pria Muslim akibat pernikahan beda agama, alangkah baiknya kita letakan perkara tersebut sebagai sebuah perkara syubhat yang meragukan, dan sebaiknya dihindari.
Harus diperlihatkan, agama-agama selain Islam yang ada saat ini, cenderung telah mengalami penyimpangan teologis yang sangat mendasar. Sehingga label ahlul-kitabĀ¬, nampaknya cukup jauh dari kenyataan empiris.
Juga, penolakan atas perkawinan beda agama, bukanlah merupakan tindakan diskriminatif terhadap agama, atau pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana kerap disinyalir kalangan sekuler. Tapi upaya itu justru merupakan hak mendasar bagi sebuah agama dalam mengatur umatnya untuk mencapai tatanan hidup yang ideal.
Sumber : majalah Gontor edisi11 tahunVI
Oleh : Asisf Trisnani Lc MA
Mon Oct 24, 2011 5:09 am by raden galuh agung permana
» update forum 2
Wed Sep 14, 2011 10:00 am by Admin
» Resep Kue Pernikahan
Sat Jun 04, 2011 12:42 pm by aisyah salimah
» Hidup Tak Kenal Kompromi
Sat Jun 04, 2011 11:54 am by aisyah salimah
» Rumah Dunia VS Akhirat
Sun May 22, 2011 11:59 pm by aisyah salimah
» Selamat Jalan Ibunda Tercinta
Sat May 21, 2011 3:48 pm by aisyah salimah
» Cara Youtube tanpa buffer tanpa software
Tue May 10, 2011 8:16 pm by kholis
» tok tok tok...!
Mon May 09, 2011 7:43 pm by santii
» catatan da'wah
Sat May 07, 2011 10:08 pm by nadiachya